CPR (NEW GUIDELINE AHA 2010)

American Heart Association (AHA) baru-baru ini telah mempublikasikan pedoman cardio pulmonary resuscitation dan perawatan darurat kardiovaskular 2010. Se[erti kita ketahui, para ilmuan dan praktisi kesehatan terus mengeavaluasi CPR atau yang lebih kita kenal dengan RJP ini dan mempublikasikannya setiap 5 tahun.
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-langkah CPR dan disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini unutk mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, mereka mengembangkan rekomendasi untuk mendukung intervensi yang hasilnya menunjukkan paling menjanjikan.
Rekomendasi di 2010 Pedoman mengkonfirmassi keamanan dan efektifitas dari banyak pendekatan, mengakui ketidakefektifan orang lain fan memperkenalkan perawatan baru berbasis evaluasi bukti intensif dan konsesnsus para ahli. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedomansebelumnya tidak aman atau tidak efektif.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2010. Faokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Apnduan RJP 2005 dengan RJP 2010.
1. Bukan ABC lagi tapi CAB
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC : airway, breathing dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi dada. Saat ini kompresi dada didahulukan, baru setelah itu kita bisa fokus pada airway dan breathing. Pengecualian satu-satunya adalah hanya untuk bayi baru lahir. Namun untuk RJP bayi, RJP anak, atau RJP dewasa, harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi look, listen dan feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah dengan bertindak, bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik. Percayalah pada nyali anda, jika anda mencoba menilai korban bernafas atau tidak dengan mendekatkan pipi anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban tidak bernafaas dan tindakan look feel listen ini hanya akna menghabiskan waktu
3. Kompresi dada lebih dalam lagi
Seberapa dalam anda harus menekan dada telah berubah pada RJP 2010 ini. Sebelumnya adalah 1 ½ sampai 2 inchi (4-5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk menekann setidaknya 2 inchi (5 cm) pada dada.
4. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA mengganti redaksi kalimat disini. Sebelumnya tertulis: tekanan dada sekitar 100 kompresi per menit. Sekarang AHA merekomndasikan kita untuk menekan dada minimal 100 kompresi per menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.
5. Hands only CPR
Ada perbedaan teknik dari yang tahun 2005, namun AHA mendorong RJP seperti ini pada 2008. AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban yang bukan dewasa/ AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini namun ada saran sederhana disini: berikan hands only CPR karena berbuat sesuatu lebih baik daripda tidak berbuat sama sekali.
6. Kenali henti jantung mendadak
RJP adalah satu-satunya tata laksana untuk henti jantung mendadak dan AHA meminta kita waspada dan melakukan RJP saat itu terjadi.
7. Jangan berhenti menekan
Setiap penghentian menekan dada berarti menghentikan darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan beberapa kompresi dada untuk mengalirkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus menekan selama kita bisa. Terus tekan hingga alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan jantung. Jika sudah tiba waktunya untuk pernafasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan segera kembali pada menekan dada.
Tanggal 18 obtober 2010 lalu AHA (American Hearth Association) mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau dalam bahasa Indonesia disebut RJP (Resusitasi Jantung Paru) yang berbeda dari prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun terakhir. Perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya menggunakan A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation – Airway – Breathing).  Namun perubahan yang ditetapkan AHA tersebut hanya berlaku pada orang dewasa, anak, dan bayi. Perubahan tersebut tidak berlaku pada neonatus.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian kompresi dada dari pada membuka jalan napas dan memberikan napas buatan pada penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik kompresi dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen keseluruh tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, jantung dan lain-lain.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami henti jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulai darah. Oleh karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan napas (Airway) dan pemberian napar buatan (bretahing) seperti prosedur yang lama.
AHA selalu mengadakan review “guidelines” CPR setiap 5 tahun sekali. Perubahan dan review terakhir dilakukan pada tahun 2005 dimana terjadi perubahan perbandingan kompresi dari 15 : 2 menjadi 30 : 2.
Dengan perubahan ini AHA merekomendasikan agar segera mensosialisasikan perubahan ini kepada petugas medis, instruktur pelatihan, petugas p3k dan masayarakat umum.
Di dalamnya terdapat materi yang berguna terutama bagi sejawat di emergency unit seperti Neonatal Resuscitation, Pediatric BLS dan ALS, Adults BLS dan ALS, CPR dan First Aid.
 Sumber diambil dari :

American Heart Association 2010 Pedoman untuk Cardiopulmonary Resuscitation

http://pusbankes118-anang.blogspot.com/2011/02/new-guideline-cpr-aha-2010.html

 

HEPATITIS: PENYEBAB DAN PENGOBATAN

HEPATITIS: PENYEBAB DAN PENGOBATAN

Hepatitis adalah peradangan hati karena berbagai sebab. Hepatitis yang berlangsung kurang dari 6 bulan disebut “hepatitis akut”, hepatitis yang berlangsung lebih dari 6 bulan disebut “hepatitis kronis”.

Penyebab

Hepatitis biasanya terjadi karena virus, terutama salah satu dari kelima virus hepatitis, yaitu A, B, C, D atau E. Hepatitis juga bisa terjadi karena infeksi virus lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning dan infeksi sitomegalovirus. Penyebab hepatitis non-virus yang utama adalah alkohol dan obat-obatan.

Jenis Virus Hepatitis

  • Virus hepatitis A

Virus hepatitis A terutama menyebar melalui tinja. Penyebaran ini terjadi akibat buruknya tingkat kebersihan. Di negara-negara berkembang sering terjadi wabah yang penyebarannya terjadi melalui air dan makanan.

  • Virus hepatitis B

Penularannya tidak semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk darah. Penularan biasanya terjadi diantara para pemakai obat yang menggunakan jarum suntik bersama-sama, atau diantara mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual).

Ibu hamil yang terinfeksi oleh hepatitis B bisa menularkan virus kepada bayi selama proses persalinan. Hepatitis B bisa ditularkan oleh orang sehat yang membawa virus hepatitis B. Di daerah Timur Jauh dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang menjadi hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati.

  • Virus hepatitis C

Menyebabkan minimal 80% kasus hepatitis akibat transfusi darah. Virus hepatitis C ini paling sering ditularkan melalui pemakai obat yang menggunakan jarum bersama-sama. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas, penderita “penyakit hati alkoholik” seringkali menderita hepatitis C.

  • Virus hepatitis D

Hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki resiko tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat.

  • Virus hepatitis E

Virus hepatitis E kadang menyebabkan wabah yang menyerupai hepatitis A, yang hanya terjadi di negara-negara terbelakang.

  • Virus hepatitis G

Jenis baru dari virus hepatitis yang telah terdeteksi baru-baru ini.

Virus-virus lain yang dapat menyebabkan hepatitis :

  • Virus Mumps
  • Virus Rubella
  • Virus Cytomegalovirus
  • Virus Epstein-Barr
  • Virus Herpes

Pengobatan dengan Tianshi

  • KALSIUM 1 + CORDYCEPS, cara pemakaian :
    • pagi hari (1 jam setelah makan pagi) 2 kapsul Cordyceps
    • siang hari (setelah makan siang) 1 sachet Calcium I + 2 kapsul Cordyceps (1 jam setelah minum Calcium I)
    • sore/malam hari (setelah makan malam) 2 kapsul Cordyceps
  • Calcium I + Cordyceps + ZINC(Jika komposisi Calcium I + Cordyceps saja belum cukup), Cara pemakaian :
    • pagi hari (1 jam setelah makan pagi) 2 kapsul Cordyceps + 2 kapsul Zinc
    • siang hari (setelah makan siang) 1 sachet Calcium I + 2 kapsul Cordyceps (1 jam setelah minum Calcium I) + 2 kapsul Zinc
    • sore/malam hari (setelah makan malam) 2 kapsul Cordyceps + 2 kapsul Zinc
  • Cordyceps (paket hemat), Cara pemakaian 2 – 3 kapsul Cordyceps setiap habis makan

DIABETES MILITUS

Diabetes Melitus

Pendahuluan

enyakit diabetes terdapat pada sekitar 1%

wanita usia reproduksi dan 1–2%

diantaranya akan menderita diabetes

gestasional.

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia (meningkatanya kadar gula darah)

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya.

Gejala Umum dari Diabetes Melitus (DM)

􀂙 Banyak kencing (poliuria).

􀂙 Haus dan banyak minum (polidipsia), lapar

(polifagia).

􀂙 Letih, lesu.

􀂙 Penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya

􀂙 Lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan

kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus

vulvae pada wanita

Pembagian DM

􀂙 DM tipe 1

– Kerusakan fungsi sel beta di pankreas

– Autoimun, idiopatik

􀂙 DM Tipe 2

Menurunnya produksi insulin atau berkurangnya

daya kerja insulin atau keduanya.

􀂙 DM tipe lain:

Karena kelainan genetik, penyakit pankreas,

obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain.

􀂙 DM pada masa kehamilan = Gestasional

Diabetes

Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan

yang dialami oleh si Ibu:

1. Ibu tersebut memang telah menderita DM

sejak sebelum hamil

2. Si ibu mengalami/menderita DM saat hamil

Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke:

Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes

yang timbul pada waktu hamil dan

menghilang setelah melahirkan.

Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu

diabetes mulai sejak sebelum hamil

dan berlanjut setelah hamil.

Klas III : Pregestasional diabetes yang

disertai dengan komplikasi penyakit

pembuluh darah seperti retinopati,

nefropati, penyakit pemburuh darah

panggul dan pembuluh darah perifer.

90% dari wanita hamil yang menderita Diabetes

termasuk ke dalam kategori DM Gestasional (Tipe

II) dan DM yang tergantung pada insulin (Insulin

Dependent Diabetes Mellitus = IDDM, tipe I).

Diagnosis

Kriteria Diagnosis:

1. Gejala klasik DM + gula darah sewaktu 􀂕

200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memerhatikan waktu

makan terakhir. Atau:

2. Kadar gula darah puasa 􀂕 126 mg/dl.

Puasa diartikan pasien tidak mendapat

kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau:

3. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 􀂕200

mg/dl. TTGO dilakukan dengan Standard

WHO, menggunakan beban glukosa yang

setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang

dilarutkan dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)

• Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap

makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohidrat yang cukup) dan

tetap melakukan kegiatan jasmani seperti

biasa

• Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai

malam hari) sebelum pemeriksaan, minum

air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

• Diperiksa kadar glukosa darah puasa

• Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa),

atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan

dalam 250 ml air dan diminum dalam

waktu 5 menit

• Berpuasa kembali sampai pengambilan

sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai

• Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam

sesudah beban glukosa

• Selama proses pemeriksaan, subyek yang

diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria

normal atau DM, maka dapat digolongkan ke

dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa

Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa

Terganggu) dari hasil yang diperoleh.

– TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah

pembebanan antara 140 – 199 mg/dl

– GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125

mg/dl.

Reduksi Urine

Pemeriksaan reduksi urine merupakan bagian dari

pemeriksaan urine rutin yang selalu dilakukan di

klinik. Hasil yang (+) menunjukkan adanya

glukosuria. Beberapa hal yang perlu diingat dari

hasil pemeriksaan reduksi urine adalah:

􀂙 Digunakan pada pemeriksaan pertama sekali

untuk tes skrining, bukan untuk menegakkan

diagnosis

􀂙 Nilai (+) sampai (++++)

􀂙 Jika reduksi (+): masih mungkin oleh sebab

lain, seperti: renal glukosuria, obat-obatan,

dan lainnya

􀂙 Reduksi (++) 􀄺 kemungkinan KGD: 200 –

300 mg%

􀂙 Reduksi (+++)􀄺 kemungkinan KGD: 300 –

400 mg%

􀂙 Reduksi (++++)􀄺 kemungkinan KGD: 􀂕 400

mg%

􀂙 Dapat digunakan untuk kontrol hasil pengobatan

􀂙 Bila ada gangguan fungsi ginjal, tidak bisa dijadikan

pedoman.

Risiko Tinggi DM Gestasional:

1. Umur lebih dari 30 tahun

2. Obesitas dengan indeks massa tubuh 􀂕

30 kg/m2

3. Riwayat DM pada keluarga (ibu atau ayah)

4. Pernah menderita DM gestasional

sebelumnya

5. Pernah melahirkan anak besar > 4.000

gram

6. Adanya glukosuria

7. Riwayat bayi cacat bawaan

8. Riwayat bayi lahir mati

9. Riwayat keguguran

10. Riwayat infertilitas

11. Hipertensi

Komplikasi pada Ibu

1. Hipoglikemia, terjadi pada enam bulan

pertama kehamilan

2. Hiperglikemia, terjadi pada kehamilan 20-

30 minggu akibat resistensi insulin

3. Infeksi saluran kemih

4. Preeklampsi

5. Hidramnion

6. Retinopati

7. Trauma persalinan akibat bayi besar

Masalah pada anak

1. Abortus

2. Kelainan kongenital spt sacral agenesis,

neural tube defek

3. Respiratory distress

4. Neonatal hiperglikemia

5. Makrosomia

6. hipocalcemia

7. kematian perinatal akibat diabetik

ketoasidosis

8. Hiperbilirubinemia

Penderita DM Gestasional memunyai resiko yang

tinggi terhadap kambuhnya penyakit diabetes

yang pernah dideritannya pada saat hamil

sebelumnya.

Saran: 6-8 minggu setelah melahirkan, ibu

tersebut melakukan test plasma glukosa puasa

dan OGTT 75 gram glukosa. Pasien gemuk

penderita GDM, sebaiknya mengontrol BB, karena

diperkirakan akan menjadi DM dalam 20 tahun

kemudian

Prinsip Pengobatan DM:

1. Diet

2. Penyuluhan

3. Exercise (latihan fisik/olah raga)

4. Obat: Oral hipoglikemik, insulin

5. Cangkok pankreas

Tujuan Pengobatan:

􀂃 Mencegah komplikasi akut dan kronik.

􀂃 Meningkatkan kualitas hidup, dengan

menormalkan KGD, dan dikatakan penderita

DM terkontrol, sehingga sama dengan orang

normal.

􀂃 Pada ibu hamil dengan DM, mencegah

komplikasi selama hamil, persalinan, dan

komplikasi pada bayi.

Prinsip Diet

􀂙 Tentukan kalori basal dengan menimbang

berat badan.

􀂙 Tentukan penggolongan pasien: underweight

(berat badan kurang), normal, overweight

(berat badan berlebih), atau obesitas

(kegemukan)

Persentase = BB (kg)/(Tinggi Badan (cm) –

100) X 100%

Underweight: < 90%

Normal: 90–110%

Overweight: 110–130%

Obesitas: > 130%

􀂙 Jenis kegiatan sehari hari; ringan, sedang,

berat, akan menentukan jumlah kalori yang

ditambahkan. Juga umur dan jenis kelamin.

􀂙 Status gizi

􀂙 Penyakit penyerta

􀂙 Serat larut dan kurangi garam

􀂙 Kenali jenis makanan

Penyuluhan terpadu untuk penderita DM dan

lingkungannya

􀂙 Penyuluhan dari Dokter, Perawat dan ahli gizi –

di beberapa RS sudah ada Klinik Diabetes

Terpadu.

􀂙 Sasaran: Penderita, keluarga penderita, lingkungan

sosial penderita.

Obat DM

􀂙 Meningkatkan jumlah insulin

􀂃 Sulfonilurea (glipizide GITS, glibenclamide,

dsb.)

􀂃 Meglitinide (repaglinide, nateglinide)

􀂃 Insulin injeksi

􀂙 Meningkatkan sensitivitas insulin

􀂃 Biguanid/metformin

􀂃 Thiazolidinedione (pioglitazone, rosiglitazone)

􀂙 Memengaruhi penyerapan makanan

􀂃 Acarbose

􀂙 Hati-hati risiko hipoglikemia berikan glukosa oral

(minuman manis atau permen)

Sasaran pengontrolan gula darah

􀂙 Kadar gula darah sebelum makan 80-

120mg/dl

􀂙 Kadar gula darah 2 jam sesudah makan < 140

mg/dl

􀂙 Kadar HbA1c < 7%

Penanganan Diabetes pada Kehamilan

Kehamilan harus diawasi secara teliti sejak dini

untuk mencegah komplikasi pada ibu dan janin.

Tujuan utama pengobatan DM dengan hamil:

1. Mencegah timbulnya ketosis dan

hipoglikemia.

2. Mencegah hiperglikemia dan glukosuria

seminimal mungkin.

3. Mencapai usia kehamilan seoptimal

mungkin.

Biasanya kebanyakan penderita diabetes atau DM

gestasional yang ringan dapat di atasi dengan

pengaturan jumlah dan jenis makanan, pemberian

anti diabetik secara oral, dan mengawasi

kehamilan secara teratur.

Karena 15-20% dari pasien akan menderita

kekurangan daya pengaturan glukosa dalam masa

kehamilan, maka kelompok ini harus cepat-cepat

diidentifikasi dan diberikan terapi insulin. Bila

kadar plasma glukosa sewaktu puasa 105 mg/ml

atau kadar glukosa setelah dua jam postprandial

120 mg/ml pada dua pemeriksaan atau lebih,

dalam tempo 2 (dua) minggu, maka dianjurkan

agar penderita diberikan terapi insulin. Obat DM

oral kontraindikasi. Penentuan dosis insulin

bergantung pada: BB ibu, aktivitas, KGD,

komplikasi yang ada.

Prinsip: dimulai dengan dosis kecil reguler insulin

3 kali sehari, dosis dinaikkan bertahap sesuai

respons penderita.

Penyuntikan Insulin

1. Kenali jenis insulin yang ada, kandungan/ml

(unit/ml).

2. Kenali jenis spuit insulin yang tersedia: 40

u/ml, 100 u/ml, 50u/0,5 ml.

3. Suntikan diberikan subkutan di deltoid, paha

bagian luar, perut, sekitar pusat.

4. Tempat suntikan sebaiknya diganti-ganti.

5. Suntikan diberikan secara tegak lurus.

6. Pasien segera diberi makan setelah suntikan

diberikan. Paling lama setengah jam setelah

suntikan diberikan.

7. Kalau pasien suntik sendiri, harus dapat

melihat dengan jelas angka pada alat suntik.

8. Saat ini ada alat suntik bentuk pena dengan

kontrol dosis yang lebih mudah dan lebih tepat,

dan mudah dibawa-bawa.

Bagaimana wanita dengan diabetes?

􀂃 Dapat hamil dan punya anak sepanjang

gula darah terkontrol.

􀂃 Disarankan memilih kontrasepsi dengan

kadar estrogen rendah.

􀂃 Dapat memakai pil tambahan hormon

progesteron.

􀂃 IUD dapat menimbulkan risiko infeksi.

Tanda Komplikasi DM

􀂙 Makrovaskular: stroke, penyakit jantung koroner,

ulkus/ gangren.

􀂙 Mikrovaskular: retina (retinopati) dan ginjal

(gagal ginjal kronik), syaraf (stroke,

neuropati).

􀂙 Koma: hiperglikemi, hipoglikemi, stroke.

BANTUAN HIDUP DASAR ( BHD )

BANTUAN HIDUP DASAR

(BHD)

 

INDIKASI

1. Henti napas

Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien.

Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan:

  • Tenggelam
  • Stroke
  • Obstruksi jalan napas
  • Epiglotitis
  • Overdosis obat-obatan
  • Tersengat listrik
  • Infark miokard
  • Tersambar petir
  • Koma akibat berbagai macam kasus.

Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.

2. Henti jantug

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan:

  1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
  2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Resusitasi jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :

  • Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang
  • Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.

SURVEI PRIMER

Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu

A airway (jalan napas)

B breathing (bantuan napas)

C circulation (bantuan sirkulasi)

D defibrilation (terapi listrik)

Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu :

  1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong
  1. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! /            Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.

  1. Meminta pertolongan.

Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.

  1. Memperbaiki posisi korban/pasien.

Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.

  1. Mengatur posisi penolong.

Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

A  (AIRWAY) Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukkan tindakan :

  1. Pemeriksaan jalan napas.

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban.

  1. Membuka jalan napas.

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu (Head tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang awam dan petugas, kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus dapat melakukan manuver lainnya.

B  (BREATHING) Bantuan napas

Terdiri dari 2 tahap :

  1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.

Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.

  1. Memberikan bantuan napas.

Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :

  • Mulut ke mulut

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

  • Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban/pasien.

  • Mulut ke Stoma

Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahapan :

  1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.

Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1 – 2 cm raba dengan lembut selama 5 – 10 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.

  1. Memberikan bantuan sirkulasi.

Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :

  • Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
  • Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.
  • Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
  • Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 15 kali dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1.5 – 2 inci (3,8 – 5 cm).
  • Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
  • Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.
  • Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2, dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong jika korban/pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 – 80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

D (DEFIBRILATION)

      Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah suatu terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG

Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong pada orang awam lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi konsekuensinya akan menyebabkan penolong cepat lelah.

BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :

  1. Penilaian korban

Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan mantap), jika tidak sadar, maka

  1. Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi.
  1. Jalan napas (AIRWAY)
  • Posisikan korban/pasien
  • Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala-topang dagu.
  1. Pernapasan (BREATHING)

Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak pernapasan korban/pasien.

5        Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak ada trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery positiotion), dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.

5        Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukkan bantuan napas. Di Amerika serikat dan di negara lainnya dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2 kali, sedangkandi Eropa,Australia,New Zealanddiberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala korban/pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :

ü  Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 15 kali dan 2 kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat usahakan dikeluarkan.

ü  Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas oleh benda asing.

ü  Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.

ü  Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda adanya sirkulasi dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas.

5        Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan dengan cara melihat ada tidaknva pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk petugas kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.

  1. jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada, hanya menilai pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada pernapasan)
  1. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denvut nadi tidak ada lakukan kompresi dada
    • Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar
    • Lakukan kompresi dada sebanyak 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit
    • Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.
    • Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali kompresi 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit.
    • Lakukan 4 siklus secara lengkap (15 kompresi dan 2 kali bantuan pernapasan)
  1. Penilaian Ulang

Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali,

ü  Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan

napas dengan rasio 15 : 2.

ü  Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.

ü  Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 10 12 kali permenit dan monitor nadi setiap saat.

ü  Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.

PENATALAKSANAAN OBSTRUKSI JALAN NAPAS OLEH BENDA ASING .

Pengertian obstruksi jalan napas oleh benda asing :

Obstruksi jalan napas oleh benda asing pada orang dewasa sering terjadi pada saat makan, daging merupakan penyebab utama obstruksi jalan napas meskipun demikian berbagai macam bentuk makanan yang lain berpotensi menyumbat jalan napas pada anak-anak dan orang dewasa.

Benda asing tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sebagian (parsial) atau komplit (total). Pada obstruksi jalan napas partial korban mungkin masih mampu melakukan pernapasan, namun kualitas pernapasan dapat baik atau buruk. Pada korban dengan pernapasan yang masih baik, korban biasanya masih dapat melakukan tindakan batuk dengan kuat, usahakan agar korban tetap bisa melakukan batuk dengan kuat sampai benda asing tersebut dapat keluar. Bila sumbatan jalan napas partial menetap, maka aktifkan sistem pelayanan medik darurat. Obstruksi jalan napas partial dengan pernapasan yang buruk harus diperlakukan sebagai Obstruksi jalan napas komplit.

Obstruksi jalan napas komplit (total), korban biasanya tidak dapat berbicara, bernapas, atau batuk. Biasanya korban memegang lehernya diantara ibu jari dan jari lainya. Saturasi oksigen akan dengan cepat menurun dan otak akan mengalami kekurangan oksigen sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian akan cepat terjadi jika tidak diambil tindakan segera.

Penatalaksanaan obstruksi jalan napas oleh benda asing:

  • Manuver Heimlich

Untuk mengatasi obstruksi jalan napas oleh benda asing dapat dilakukan manuver Heimlich (hentakan subdiafragmaabdomen). Suatu hentakan yang menyebabkan peningkatan tekanan pada diafragma sehingga memaksa udara yang ada di dalam paru-paru untuk keluar dengan cepat sehingga diharapkan dapat mendorong atau mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas. Setiap hentakan harus diberikan dengan tujuan menghilangkan obstruksi, mungkin dibutuhkan hentakan 6 – 10 kali untuk membersihkan jalan napas.

Pertimbangan penting dalam rnelakukan manuver Heimlichi adalah kemungkinan kerusakan pada organ-organ besar.

Manuver Heimlich pada korban sadar dengan posisi berdiri atau duduk

Penolong harus berdiri di belakang korban, melingkari pinggang korban dengan kedua lengan, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya, Tekan kepalan ke perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas. Setiap hentakan harus terpisah dan dengan gerakan yang jelas.

Manuver Heimlich pada korban yang tergeletak (tidak sadar)

Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka keatas. Penolong berlutut disisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusat dan jauh dibawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan diatas tangan pertama. Penolong menekan kearah perut dengan hentakan yang cepat kearah atas. Manuver ini dapat dilakukan pada korban sadar jika penolongnya terlampau pendek untuk memeluk pinggang korban.

Manuver Heimlich pada yang dilakukan sendiri :

Pengobatan diri sendiri terhadap obstruksi jalan napas

Kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut diatas pusat dan dibawah tulang sternum, genggam kepalan itu dengan kuat dan berikan tekanan ke atas ke arah diafragma dengan gerakan cepat, jika tidak berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.

  • Penyapuan jari

Manuver ini hanya dilakukan atau digunakan pada korban tidak sadar, dengan muka menghadap keatas buka mulut korban dengan memegang lidah dan rahang diantara ibu jari dan jari-jarinya, kemudian mengangkat rahang bawah. Tindakan ini akan menjauhkan lidah dari kerongkongan serta menjauhkan benda asing yang mungkin menyangkut ditempat tersebut. Masukkan jari telunjuk tangan lain menelusuri bagian dalam pipi, jauh ke dalam kerongkongan di bagian dasar lidah, kemudian lakukan gerakan mengait untuk melepaskan benda asing serta menggerakkan benda asing tersebut ke dalam mulut sehingga memudahkan untuk diambil. Hati-hati agar tidak mendorong benda asing lebih jauh kedalam jalan napas.

PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS

Mengenali adanya sumbatan jalan napas

Penyebab utama jalan napas pada pasien tidak sadar adalah hilangnya tonus otot tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat farink dan epiglotis menutup larink. Bila pasien masih bernapas sumbatan partial menyebabkan bunyi napas saat inspirasi bertambah (stridor), sianosis (tanda lanjut) dan retraksi otot napas tambahan. Tanda ini akan hilang pada pasien yang tidak bernapas.

Tahap dasar membuka jalan napas tanpa alat

Tengadahkan kepala pasien disertai dengan mengangkat rahang bawah ke depan. Bila ada dugaan cedera pada leher lakukan pengangkatan rahang bawah ke depan disertai dengan membuka rahang bawah (Jaw thrust), jangan lakukan ekstensi kepala. Apabila pasien masih bernapas spontan, untuk menjaga jalan napas tetap terbuka posisikan kepala pada kedudukan yang tepat. Pada keadaan yang meragukan untuk mempertahankan jalan napas pasanglah oral/nasal airway.

Tahap dasar membuka jalan napas dengan alat

Apabila manipulasi posisi kepala tidak dapat membebaskan jalan napas akibat sumbatan oleh pangkal lidah atau epiglotis maka lakukan pemasangan alat bantu jalan napas oral/nasal. Sumbatan oleh benda asing diatasi dengan perasat Heimlich atau laringoskopi disertai dengan pengisapan atau menjepit dan menarik keluar benda asing yang terlihat.

Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)

Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas spontan atau saat dilakukan ventilasi dengan sungkup dan bagging dimana tanpa disadari penolong menekan dagu ke bawah sehingga jalan napas tersumbat. Alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT).

Cara pemasangan

  • Bersihkan mulut dan faring dari segala kotoran
  • Masukan alat dengan ujung mengarah ke chefalad
  • Saat didorong masuk mendekati dinding belakang faring alat diputar 180°
  • Ukuran alat dan penempatan yang tepat menghasilkan bunyi napas yang nyaring pada auskultasi paru saat dilakukan ventilasi
  • Pertahankan posisi kepala yang tepat setelah alat terpasang

Bahaya

  • Cara pemasangan yang tidak tepat dapat mendorong lidah ke belakang atau apabila ukuran terlampau panjang epiglotis akan tertekan menutup rimaglotis sehingga jalan napas tersumbat
  • Hindarkan terjepitnya lidah dan bibir antara gigi dan alat
  • Jangan gunakan alat ini pada pasien dimana refleks faring masih ada karena dapat menyebabkan muntah dan spasme laring

Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)

Alat ini berbentuk pipa polos terbuat dari karet atau plastik. Biasanya digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin. memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).

Cara pernasangan

  • Pilih alat dengan ukurang yang tepat, lumasi dan masukkan menyusuri bagian tengah dan dasar rongga hidung hingga mencapai daerah belakang lidah
  • Apabila ada tahanan dengan dorongan ringan alat diputar sedikit.

Bahaya

  • Alat vang terlalu panjang dapat masuk oesophagus dengan secgala akibatnya
  • Alat ini dapat merangsang, muntah dan spasme laring
  • Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa akibat pernasangan, oleh sebab itu alat penghisap harus selalu siap saat pernasangan.

Ingat !!

  • Selalu periksa apakah napas spontan timbul setelah pemasangan alat ini.
  • Apabila tidak ada napas spontan lakukan napas buatan dengan alat bantu napas yang memadai.
  • Bila tidak ada alat bantu napas yang memadai lakukan pernapasan dari mulut ke mulut

Pernapasan buatan

 

Pernapasan mulut ke mulut dan mulut ke hidung

Cara ini merupakan tehnik dasar bantuan napas. Upayakan memakai pelindung (barrier) antara mulut penolong dengan pasien berupa lembar plastik/silikon berlubang ditengah atau memakai sungkup, sungkup khusus ini dikenal dengan nama Pocketfacemask. Keterbatasan cara ini adalah konsentrasi oksigen ekspirasi penolong rendah (16-17%).

Pernapasan mulut ke sungkup muka (pocket facemask)

Memegang sungkup dengan tepat memerlukan latihan dan konsentrasi, akan tetapi alat ini merupakan alat bantu efektif untuk napas buatan. Sungkup muka ini memiliki beberapa ukuran, bening untuk memudahkan melihat adanya regurgitasi dan memiliki lubang masuk untuk oksigen tambahan. Keuntungan dari penggunaan sungkup muka ini adalah mencegah kontak langsung dengan pasien dan dapat memberikan oksigen tambahan

Cara melakukan

Bila memungkinkan lakukan dengan dua penolong, posisi dan urutan tindakan sama seperti tanpa menggunakan sungkup, kecuali pada tehnik ini digunakan sungkup sebagai pelindung, Jadi diperlukan keterampilan memegang sungkup. Dengan dua penolong seorang melakukan kompresi dada dan yang lain melakukan napas buatan. Bila tersedia berikan oksigen tambahan dengan aliran 10 liter/menit (FiO2 =50%) dan 15 liter/menit (FiO2=80%). Bila tidak ada penolakan pasang alat bantu jalan napas orofaring. Tengadahkan kepala dan pasang sungkup pada mulut dan hidung pasien dengan cara ibu jari dan telunjuk kedua tangan menekan sungkup sedangkan tiga jari kedua tangan menarik mandibula sambil tetap mempertahankan kepala dalam posisi tengadah, sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan tiupan melalui lubang sungkup sambil memperhatikan gerakan dada, tiup dengan lambat dan mantap dengan lama inspirasi 1-2 detik. Pada pasien dengan henti jantung dengan jalan napas belum terlindungi lakukan 2 ventilasi setiap 15 kompresi dada. Apabila jalan napas terlindungi (misalnya sudah terpasang ETT, Laringeal Mask Airway atau Combitube) lakukan kompresi 100 kali/menit dengan ventilasi dilakukan. tanpa menghentikan kompresi (asingkron) tiap 5 detik (kecepatan 12 kali/menit). Apabila ada penolong ketiga lakukan tekanan pada krikoid untuk mencegah distensi lambung dan regurgitasi.

Bantuan napas dengan. menggunakan bagging sungkup dan alat bantu jalan napas lainnya.

Bagging telah lama digunakan sebagai alat bantu napas utama dikombinasikan. dengan alat bantu jalan napas lainnya misalnya sungkup muka, ETT, LMA, dan Combitube. Penggunaan bagging memungkinkan pemberian oksigen tambahan. Beberapa hal yang harus diperhatikan saat menggunakan bagging :

  • Volume tidal berkisar antara 10-15 ml/kg BB
  • Bagging dewasa umum mempunyai volume 1600 ml.
  • Bila memungkingkan bagging dilakukan oleh dua penolong untuk mencegah kebocoran, seorang penolong mempertahankan sungkup dan kepala pasien, dan yang lainnya melakukan pemijatan bagging
  • Masalah kebocoran dan kesulitan mencapai volume tidal yang cukup tidak akan terjadi jika dipasang ETT, LMA, atau Combitube.

Tahap lanjut membuka jalan napas.

Pernasangan pipa endotrakeal (ETT)

Pemasangan pipa endotrakeal menjamin terpeliharanya jalan napas dan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin oleh penolong yang terlatih.

Keuntungan :

  • Terpeliharanya jalan napas
  • Dapat memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
  • Menjamin tercapainya volume tidal yang, diinginkan
  • Mencegah teriadinya aspirasi
  • Mempermudah penghisapan lendir di trakea
  • Merupakan jalur masuk beberapa obat-obat resusitasi

Karena kesalahan letak pipa endotrakeal dapat menyebabkan kematian maka tindakana ini sebaiknya dilakukan oleh penolong yang terlatih

Indikasi pemasangan :

  • Henti jantung
  • Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema paru, Guillan-Bare syndrom, sumbatan jalan napas)
  • Perlindungan jalan napas tidak memadai (koma, arefleksi)
  • Penolong tidak mampu memberi bantuan napas dengan cara konvensional

Persiavan alat untuk pemasangan pipa endotrakeal (ETT)

  • Laringoskop, lengkap dengan handle dan bladenya
  • Pipa endotrakeal (ETT) dengan ukuran :
    • Perempuan                  : No 7,0 ; 7,5 ; 8,0
    • Laki laki                      : No 8,0 ; 8,5
    • Keadaan emergensi     : No 7,5
  • Stilet (mandrin)
  • Forsep margil
  • Jeli
  • Spuit 20 atau 10 cc
  • Stetoskop
  • Bantal
  • Plester dan gunting
  • Alat penghisap lendir (Suction aparatus)

Tekhnik pemasangan

  • Cek alat-alat yang diperlukan dan pilih ETT sesuai ukuran
  • Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik sambil dilakukan sellick maneuver
  • Beri pelumas pada ujung ETTsampai daerah cuff
  • Letakkan bantal setinggi ± 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala tetap ekstensi
  • Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring
  • Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop
  • Masukan bilah laringoskop menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukan bilah sampai sampai mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit diantara bilah dan gigi pasien
  • Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30° – 40°, jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu
  • Bila pita suara sudah terlihat, masukan ETT sambil memperhatikan bagian proksimal dari cuff ETT melewati pita suara ± 1-2 cm atau pada orang dewasa kedalaman ETT ± 19-23 cm
  • Waktu untuk intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik
  • Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging dan lakukan auskultasi pertama pada lambung kemudian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada
  • Bila terdengar suara gargling pada lambung dan dada tidak mengembang, lepaskan ETT dan lakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik kemudian lakukan intubasi kembali
  • Kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 20 atau 10 cc dengan volume secukupnya sampai tidak terdengar lagi suara kebocoran di mulut pasien saat dilakukan ventilasi
  • Lakukan fiksasi ETT dengan plester agar tidak terdorong atau tercabut
  • Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit ETT jika mulai sadar
  • Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 – 12 liter/menit)

Penekanan krikoid (Sellick Manuever) :

Perasat ini dikerjakan saat intubasi untuk mencegah distensi lambung, regurgitasi isi lambung dan membantu dalam proses intubasi. Perasat ini dipertahankan sampai balon ETT sudah dikembangkan.

Cara melakukan Sellick maneuver :

  • Cara puncak tulang tiroid (Adam’s Apple)
  • Geser jari sedikit ke kaudal sepanjang garis median sampai menemukan lekukkan kecil (membran krikotiroid)
  • Geser lagi jari sedikit ke bawah sepanjang garis median hingga ditemukan tonjolan kecil tulang (kartilago krikoid)
  • Tekan tonjolan ini diantara ibu jari dan telunjuk ke arah dorsokranial. Gerakan ini akan menyebabkan oesophagus terjepit diantara bagian belakang kartilago krikoid dengan tulang belakang dan lubang trakhea/rimaglotis akan terdorong ke arah dorsal sehingga lebih mudah terlihat.

Memastikan letak ETT dengan menggunakan alat

Berbagai alat mekanik atau elektronis dapat digunakan untuk tujuan ini misalnva detektor end tidal CO2 (kwantitatif dan kwalitatif).

Melakukan bantuan napas dengan ETT selama RJP.

Volume tidal napas berkisar antara 10-15 ml/kg BB, secara klinis keadaan dapat diketahui dengan pengamatan dada. Dengan volume 10 ml/kg BB dada akan tampak mulai mengembang dan dengan 15 ml/kg BB dada akan mengembang, lebih besar lagi (naik antara 4-6 cm). Bila tidak diberikan oksigen tambahan dan pada pasien gemuk berikan volume yang lebih besar sedangkan bila diberikan oksigen tambahan atau pada pasien kurus berikan volume yang lebih kecil. Kecepatan pemberian napas berkisar antara 10-12 kali/menit atau satu kali setiap 5-6 detik dengan lama inspirasi sekitar 2 detik. Pada keadaan ini tidak ada lagi perbandingan antara kompresi dan ventilasi. Kecepatan kompresi berkisar 100 kali/menit, sedangkan ventilasi diberikan setiap 5 detik (tidak perlu seirama dengan kompresi).

Komplikasi pemasangan ETT

v  ETT masuk kedalam oesophagus, yang dapat menyebabkan hipoksia.

v  Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.

v  Gigi patah.

v  Laserasi pada faring dan trakhea akibat stilet (mandrin) dan ujung ETT.

v  Kerusakan pita suara.

v  Perforasi pada faring dan oesophagus.

v  Muntah dan aspirasi.

v  Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga terjadi hipertensi, takikardi dan aritmia.

v  ETT masuk ke salah satu bronkus. Umumnya masuk kebronkus kanan, untuk mengatasinya tarik ETT 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan auskultasi bilateral.

Penanganan jalan napas pada pasien trauma

Gerakan kepala dan leher yang berlebihan pada pasien cedera leher dapat menyebabkan cedera yang lebih hebat. Pasien trauma muka, multiple dan kepala harus dianggap disertai dengan cedera leher.

Langkah pernanganan pada pasien atau tersangka cedera leher.

  1. Jangan tengadahkan kepala, hanya angkat rahang dan buka mulut pasien
  2. Pertahankan kepala pada posisi netral selama nianipulasi jalan napas.
  3. Pasien fraktur basis dan tulang muka lakukan pemasangan ETT dalam keadaan tulang belakang distabilisasi.
  4. Bila tidak dapat dilakukan intubasi lakukan krikotiroidektomi atau trakheostomi.
  5. Bila diputuskan untuk dilakukan intubasi melalui hidung (blind nasal intubation) maka harus dilakukan oleh penolong yang berpengalaman.
  6. Bila pasien melawan dapat diberikan obat pelemas otot dan penenang.

Tehnik tambahan untuk penanganan jalan napas invasif dan ventilasi

Adadua alat bantu jalan napas yang termasuk kelas IIb yaitu :

Laryngeal Mask airway (LMA)

Esophageal Tracheal Combitube

Laryngeal Mask airway (LMA)

LMA berupa sebuah pipa dengan ujung distal yang menyerupai sungkup dengan tepi yang mempunvai balon sekelilingnya. Pada terpasang bagian sungkup ini harus berada di daerah hipofaring, sehingga saat balon dikembangkan maka bagian terbuka dari sungkup akan menghadap kearah lubang trakhea membentuk bagian dari jalan napas.

Beberapa kelebihan LMA sebagai alat bantu jalan napas adalah :

¨      Dapat dipasang tanpa laringoskopi.

¨      atau leher sehingga menguntungkan pada pasien dengan cedera leher atau pada pasien yang sulit dilakukan visualisasi lubang trakhea.

¨      Karena LMA tidak perlu masuk kedalam trakhea maka resiko kesalahan intubasi dengan segala akibatnya tidak ditemukan pada LMA.

Kekurangan LMA adalah tidak dapat melindungi kemungkinan aspirasi sebaik ETT.

Combitube

Alat ini merupakan gabungan ETT dengan obturator oesophageal. Pada alat ini terdapat 2 daerah berlubang, satu lubang di distal dan beberapa lubang ditengah, lubang lubang ini dihubungkan melalui 2 saluran yang terpisah dengan 2 lubang di proksimal yang merupakan interface untuk alat bantu napas. Selain itu terdapat 2 buah balon, satu proksimal dari lubang distal dan satu proksimal dari deretan lubang di tengah. Ventilasi melalui trakhea dapat dilakukan melalui lubang distal (ETT) dan tengah (obtutator). Alat ini dimasukan tanpa laringoskopi, dari penelitian dengan cara memasukan seperti ini 80% kemungkinan masuk ke eosophagus. Setelah alat ini masuk kedua balon dikembangkan dan dilakukan pemompaan, mula-mula pada obturator seraya dilakukan inspeksi dan auskultasi apabila ternyata dari pengamatan ini tidak tampak adanya ventilasi paru pemonpaan dipindahkan pada ETT dan lakukan kembali pemeriksaan klinis. Kinerja ventilasi, oksigenasi dan perlindungan terhadap aspirasi alat ini sepadan dengan ETT dengan keunggulan lebih mudah dipasang dibanding ETT.

Krikotiroidektomi

Tindakan ini dilakukan untuk membuka jalan napas sementara dengan cepat, apabila cara lain sulit dilakukan. Pada tekhnik ini membran krikotiroid disayat kecil vertikal, dilebarkan dan dimasukan ETT.

Trakheostomi

Tekhnik ini bukan pilihan pada keadaan darurat (life saving). Tindakan ini sebaiknya dilakukan di kamar bedah oleh seorang yang ahli.Adadua jenis yang biasa dipakai :

  1. Penghisap faring yang kaku, pada alat ini diperlukan tekanan negatif yang rendah sekali.
  2. Penghisap trakheobronkhial yang lentur, alat ini mempunyai syarat :
  • Ujung harus tumpul dan sebaiknya memiliki lubang di ujung dan di samping
  • Lebih panjang dari ETT
  • Licin
  • Steril dan sekali pakai

Cara melakukan penghisapan lendir

  1. Lakukan hiperventilasi dengan Fi02 100% selama 15 – 30 detik
  2. Gunakan kateter trakheobronkhial dengan diameter tidak lebih dari ? diameter dalam ETT
  3. Lama penghisapan tidak lebih dari 10 detik
  4. Bila setelah penghisapan selama 10 detik ternyata masih belum bersih maka dapat dilakukan pengisapan kembali, diantara pengisapan harus diselingi dengan ventilasi seperti diatas.
  5. Setelah selesai pengisapan lakukan hiperventilasi dengan FiO2 100 % selama 15 – 30 detik

RJP

PUTUSKAN INTUBASI

(A SEKUNDER)

RJP dan PERSIAPAN ALAT

CEK : ALAT ® SIAP

RJP dan HIPERVENTILASI

(100% dgn RR tinggi)                        SELLICK MANUVER

                        30 detik

RJP berhenti

POSISI KEPALA

(GANJAL KEPALA + EKSTENSI)

LARlNGOSKOP

INTUBASI

GAGAL                                                                30 detik

BERHASIL BAGGING I KALI

AUSKULTASI PADA EPIGASTRIUM

¨      GURGLING (+)

¨      EKSTUBASI                                                        GURGLING (-)

AUSKULTASI pada DADA KANAN dan

KIRI, DADA ATAS dan BAWAH

Bila terlalu dalam, ETT ditarik

dan diauskultasi untuk memastikan

RJP lanjutkan

BALON DIKEMBANGKAN,          SELLICK MANUVER

            FIKSASI, PASANG MAYO                                    DILEPASKAN

CATATAN:

• Kompresi dada 100 X/mnt

• Ventilasi 1 kali/5 detik

• Ventilasi asinkron

TERAPI OKSIGEN

Terapi oksigen adalah memberikan aliran gas lebih dari 20% pada tekanan 1 atmosfir sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam darah.

Tujuan :

¨      Mempertahan oksigen jaringan yang adekuat

¨      Menurunkan kerja napas

¨      Menurunkan kerja jantung

Indikasi :

  • Penurunan PaO2
  • Keadaan lain seperti; gagal napas akut, syok, keracunan CO

Pemberian oksigen selalu tepat untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau napas akut dengan ketentuan sebagai berikut :

e         Tanpa gangguan napas oksigen diberikan 2 liter/ menit melalui kanul binasal.

e         Dengan gangguan napas sedang oksigen diberikan 5 – 6 liter/menit melalui kanul binasal.

e         Dengan gangguan napas berat, gagal jantung, henti jantung, gunakan sistem yang dapat memberikan oksigen 100%.

e         Pada pasien dimana rangsang napas tergantung pada keadaan hipoksia (mis. Asma) berikan oksigen kurang dari 50% dan awasi ketat.

e         Atur kadar oksigen berdasarkan kadar gas darah (PaO2) atau saturasi (SaO2)

e         Dalam keadaan darurat gunakan alat bantu napas yang lebih canggih (mis. bagging), lakukan intubasi dan berikan oksigen 100%.

Persiapan alat :

  1. Sumber oksigen (tabung atau sumber oksigen sentral)
  2. Tabung pelembab (humidifier).
  3. Pengukur aliran oksigen (flow meter)
  4. Alat pemberian oksigen (tergantung metoda yang dipakai)

Metoda pemberian oksigen :

  • Sistem aliran rendah
    • Aliran rendah konsentrasi rendah (Low flow low concentration)
      • Kateter nasal
      • Kanul binasal
      • Aliran rendah konsentrasi tinggi (Low flow high concentration)
        • Sungkup muka sederhana
        • Sungkup muka dengan kantong Rebreathing
        • Sungkup muka dengan kantong Non Rebrething
  • Sistem aliran tinggi
    • Aliran tinggi konsentrasi rendah (High flow low concentration)
      • Sungkup venturi
      • Aliran tinggi konsentrasi tinggi (High flow high concen tration)
        • Head box
        • Sungkup CPAP (continous positive airway pressure)

Kanul binasal

Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan FiO2 24 – 44% dengan aliran 1 – 6 liter/menit. Merupakan alat dengan aliran rendah dan konsentrasi rendah (low flow low concentration), kadar yang dihasilkan tergantung pada besarnya aliran dan volume tidal napas pasien. Kadar oksigen bertambah 4% untuk setiap tambahan 1 liter/menit oksigen, misalnya aliran 1 liter/menit = 24%, 2 liter/menit 28% dan seterusnya dengan maksimal 6 liter/menit.

Keuntungan :

ü  Pernberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju napas teratur

ü  Baik diberikan dalam jangka waktu lama

ü  Pasien dapat bergerak bebas, makan, minum dan bicara

ü  Efisien dan nyaman untuk pasien

Kerugian :

¨      Dapat menyebabkan iritasi pada hidung, bagian belakang telinga tempat tali binasal

¨      FiO2 akan berkurang apabila pasien bernapas dengan. mulut

Sungkup muka sederhana

Aliran yang diberikan 6 – 10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 60%. Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring dan orofaring sebagai penyimpan anatomic.

Sungkup muka dengan kantong rebreathing

Aliran yang diberikan 6 – 10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 80%. Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi sepertiga bagian volume ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian bagian volume ekshalasi melewati lubang-lubang pada bagian samping

Sungkup muka dengan kantong nonrebreathing

Aliran yang diberikan 8 – 12 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 100%. Udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi dan tidak dipengaruhi oleh udara luar.

Kerugian pada penggunaan sungkup

  1. Mengikat (sungkup harus terus melekat pada pipi/wajah pasien untuk mencegah kebocoran.
  2. Lembab
  3. Pasien tidak dapat makan, minum atau berbicara.
  4. Dapat terjadi aspirasi jika pasien muntah, terutama pada pasien tidak sadar atau anak

Sungkup Venturi

Memberikan aliran yang bervariasi dengan konsentrasi oksigen berkisar 24 – 50%. Dipakai dengan pasien dengan tipe ventilasi yang tidak teratur. Alat ini digunakan pada pasien dengan hiperkarbi yang disertai dengan hipoksemi sedang sampai berat.

PENATALAKSANAAN PASKA RESUSITASI JANTUNG PARU

Perawatan paska resusitasi dilakukan segera setelah pasien kembali pada sirkulasi spontan sampai pasien dipindahkan ke unit perawatan intensif. Perawatan yang efektif pada periode ini akan memberikan hasil yang memuaskan terutama untuk perbaikan pada fungsi serebral.

Tindakan yang harus segera dilakukan :

  1. Melakukan pengkajian berdasarkan ABCD sekunder
  2. Airway Jalan napas

¨      Mempertahankan jalan napas.

¨      Memastikan letak ETT dengan pemeriksaan fisik (auskultasi paru kanan-kiri, lambung) pemantauan end tidal CO2 dan rontgen foto torak.

  1. Breathing (bantuan napas)

¨      Memberikan oksigen

¨      Memberikan tekanan positif seperti bantuan ventilasi dengan bagging atau ventilasi mekanik

¨      Periksa perkembangan dada

¨      Periksa saturasi oksigen (pulse oksimetri) dan analisa gas darah (AGD)

¨      Pada pasien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan ventilasi mekanik, maka harus diberikan obat pelemas otot dan sedasi.

¨      Periksa kemungkinan terjadinya komplikasi seperti pneumotoraks, patah tulang iga dan letak ETT yang salah.

  1. Circulation (sirkulasi)

¨      Periksa tanda-tanda vital pasien

¨      Berikan cairan NaCl atau dekstrosa aapat diberikan apabila pasien mempunyai riwayat hipoglikemia

¨      Pemantauan EKG dan tekanan darah

¨      Pemantauan produksi urine

¨      Jika pada saat henti jantung dengan irama VF pasien belum mendapat anti aritmia maka obat anti aritmia dapat diberikan secara bolus kemudian dilanjutkan dengan pernberian dosis pemeliharaan.

¨      Apabila anti aritmia sudah diberikan pada saat resusitasi maka pemberian anti aritmia tersebut dilanjutkan dengan dosis pemeliharan.

  1. Diagnosis Banding

Penyebab henti jantung dapat diketahui dengan cara melakukan :

¨      Pemeriksaan rontgen foto toraks

¨      Anamnesis ulang

¨      Pemeriksaan fisik

¨      Perekaman EKG 12 lead

¨      Pemeriksaan elektrolit darah.

  1. Tindakan lain

¨      Memasang nasogastric tube (NGT)

¨      Memasang kateter urine

¨      Mengatasi secara cepat gangguan keseimbangan elektrolit.

¨

CA. MAMAE

CA. MAMAE

 A.PENGERTIAN

Ca. Mamae merupakan penyakit keganasan yang paling banyak menyerang wanita., disebabkan karena terjadinya pembelahan sel-sel tubuh secara tidak teratur sehingga pertumbuhan sel tidak dapat dikendalikan dan akan tumbuh menjadi benjolan tumor (kanker).

B.ETIOLOGI

Sebab keganasan pada mamae masih belum jelas, tetapi ada beberapa faktor yang berkaitan erat dengan munculnya keganasan payudara yaitu: virus, faktor lingkungan , faktor hormonal dan familiar;

1.Wanita resiko tinggi dari pada pria (99:1)

2.Usia: resiko tertinggi pada usia diatas 30 tahun

3.Riwayat keluarga: ada riwayat keluarga Ca Mammae pada ibu/saudara perempuan

4.Riwayat meanstrual:

-early menarche (sebelum 12 thun)

-Late menopouse (setelah 50 th)

5.Riwayat kesehatan: Pernah mengalami / sedang menderita otipical hiperplasia atau benign proliverative yang lain pada biopsy payudara, Ca. endometrial.

6.Menikah tapi tidak melahirkan anak

7.Riwayat reproduksi: melahirkan anak  pertama diatas 35 tahun.

8.Tidak menyusui

9.Menggunakan obat kontrasepsi oral yang lama, penggunaan therapy estrogen

10.Mengalami trauma berulang kali pada payudara

11.Terapi radiasi; terpapar dari lingkungan yang terpapar karsinogen

12.Obesitas

13.Life style: diet tinggi lemak, mengkomsumsi alcohol (minum 2x sehari), merokok.

14.Stres hebat.

C.  PATOFISIOLOGI  PENYAKIT

Proses terjadinya kanker karena terjadi perubahan struktur sel, dengan ciri : proliferasi yang berlebihan dan tak berguna, yang tak mengikuti pengaruh jaringan sekitarnya. Proliferasi abnormal  sel kanker akan menggangu fungsi jaringan normal dengan menginfiltrasi dan memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar ke organ-organ yang jauh. Di dalam sel tersebut telah terjadi perubahan secara biokimiawi  terutama dalam intinya. Hampir semua tumor ganas tumbuh dari suatu sel yang mengalami transformasi maligna dan berubah menjadi sekelompok sel ganas diantara sel normal.

D. TANDA DAN GEJALA

1.Terdapat massa utuh kenyal, biasa di kwadran atas bagian dalam, dibawah ketiak bentuknya tak beraturan dan terfiksasi

2.Nyeri di daerah massa

3.Perubahan bentuk dan besar payudara, Adanya lekukan ke dalam, tarikan dan refraksi pada areola mammae

4.Edema dengan “peant d’ orange (keriput seperti kulit jeruk)

5.Pengelupasan papilla mammae

6.Adanya kerusakan dan retraksi pada area puting,

7.Keluar cairan abnormal dari putting susu berupa nanah, darah, cairan encer padahal ibu tidak sedang hamil / menyusui.

8.Ditemukan lessi pada pemeriksaan mamografi

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan labortorium meliputi: Morfologi sel darah, LED, Test fal marker (CEA) dalam serum/plasma, Pemeriksaan sitologis

2.Test diagnostik lain:

a.Non invasive;

-Mamografi

-Ro thorak

-USG

-MRI

-PET

b.Invasif

-Biopsi, ada 2 macam tindakan menggunakan jarum dan 2 macam tindakan pembedahan

– Aspirasi biopsy (FNAB)

-Dengn aspirasi jarum halus , sifat massa dibedakan antar kistik atau padat

-True cut / Care biopsy

-Dilakukan dengan perlengkapan stereotactic biopsy mamografi untuk memandu jarum pada massa

-Incisi biopsy

-Eksisi biopsy

Hasil biopsi dapat digunakan selama 36 jam untuk dilakukan pemeriksaan histologik secara froxen section

F.  KOMPLIKASI

Metastase ke jaringan sekitar melalui saluran limfe (limfogen) ke paru,pleura, tulang dan hati.

G.  PENATALAKSANAAN MEDIS

Ada 2 macam yaitu kuratif (pembedahan) dan paliatif (non pembedahan).  Penanganan kuratif dengan pembedahan yang dilakukan secara mastektomi parsial, mastektomi total, mastektomi radikal, tergantung dari luas, besar dan penyebaran kanker.  Penanganan non pembedahan dengan penyinaran, kemoterapi dan terapi hormonal.

H. CARA PENCEGAHAN

1.Kesadaran SADARI dilakukan setiap bulan.

2.Berikan ASI pada Bayi.

Memberikan ASIpada bayi secara berkala akan mengurangi tingkat hormone tersebut. Sedangkan kanker payudara berkaitan dengan hormone estrogen.

3.jika menemukan gumpalan / benjolan pada payudara segera kedokter.

4.Cari tahu apakah ada sejarah kanker payudara pada keluarga. Menurut penelitian 10 % dari semua kasus kanker payudara adalah factor gen.

5.Perhatikan konsumsi alcohol. Dalam penelitian menyebutkan alcohol meningkatkan estrogen.

6.Perhatikan BB, obesitas meningkatkan risiko kanker payudara.

7.Olah raga teratur. Penelitian menunjukkan bahwa semakin kurang berolah raga, semakin tinggi tingkat estrogen dalam tubuh.

8.Kurangi makanan berlemak. Gaya hidup barat tertentu nampaknya dapat meningkatkan risiko penyakit.

9.Usia > 50 th lakukan srening payudara teratur. 80% Kanker payudara terjadi pada usia > 50 th

10.Rileks / hindari stress berat. Menurunkan tingkat stress akan menguntungkan untuk semua kesehatan secara menyeluruh termasuk risiko kanker payudara.

 K. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:

1.Nyeri akut / kronis b/d agen injuri fisik

2.Risiko infeksi b/d imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasive, penyakit

3. PK: Perdarahan

4.Cemas b.d status kesehatan

5.Deficite Knolage b.d Kurang paparan sumber informasi

6.Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis

7.Sindrom deficite self care b.d nyeri, kelemahan

RENPRA CA. MAMAE

 

 

No

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

1

Nyeri Akut b/d agen injuri fisik Setelah dilakukan askep …. jam tingkat kenyamanan klien meningkat, nyeri terkontrol dengan KH:

-klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri 2-3

-Ekspresi wajah tenang & dapat istirahat, tidur.

-v/s dbn (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt).

Manajemen nyeri :

-Kaji nyeri secara komprehensif ( Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi ).

-Observasi  reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.

-Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.

-Berikan lingkungan yang tenang

-Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi nyeri.

-Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri.

-Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.

-Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.

-Monitor V/S

-Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

2

Risiko infeksi b/d adanya luka operasi, imunitas tubuh menurun, prosedur invasive Setelah dilakukan askep …. jam tidak terdapat  infeksi Terkontrol dg KH:

-Bebas dari tanda & gejala infeksi

-Angka lekosit normal (4-11.000)

-Suhu normal  (36-37 c)

Konrol infeksi :

-Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

-Batasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ istirahat yang cukup

-Anjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien.

-Gunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.

-Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.

-Gunakan baju, masker dan sarung tangan sebagai alat pelindung.

-Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.

-Lakukan perawatan luka dan dresing infus,DC setiap hari.

-Tingkatkan intake nutrisi. & cairan yang adekuat

-Berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi

-Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.

-Monitor hitung granulosit dan WBC.

-Monitor kerentanan terhadap infeksi.

-Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.

-Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.

-Inspeksi keadaan luka dan sekitarnya

-Monitor perubahan tingkat energi.

-Dorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan latihan.

-Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.

-Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

3

PK: Perdarahan setelah dilakukan perawatan …..  jam perawat akan mengurangi komplikasi dari perdarahan dg KH:

-Perdarahan berkurang.

-HB > /= 10 gr %

-Pantau tanda dan gejala perdarahan pada luka / luka post operasi.

-Pantau laborat Hb, HMT. AT

-Kolaborasi untuk tranfusi bila  terjadi perdarahan (hb < 10 gr%)

-Kelola terpi sesuai order

-Pantau daerah yang dilakukan operasi

-Lakukan perawatan luka dengan hati-hati dengan menekan daerah luka dengan kassa steril dan tutuplah dengan tehnik aseptic basah-basah / kering-kering sesuai indikasi

-Pantau keadaan umum secara klinis

4

Cemas b.d status kesehatan setelah dilakukan perawatan selama ….. jam cemas ps terkontrol dg KH :

-Ps Mengungkapkan cemas berkurang

-Dapat tidur dan rileks

-Pasien kooperatif saat dilakukan tindakan

Penurunan kecemasan

-Bina Hub. Saling percaya

-Libatkan keluarga dalam memberikan dukungan / suport mental dan spiritual

-Jelaskan semua Prosedur tindakan yang akan dilakukan

-Hargai pengetahuan ps tentang penyakitnya

-Bantu ps untuk mengefektifkan sumber support

-Berikan reinfocement untuk menggunakan Sumber Coping yang efektif

5

Deficite pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d Kurang paparan thdp sumber informasi, terbatasnya kognitif setelah diberikan penjelasan selama …. pengetahuan klien dan keluarga meningkat dg KH:

-Ps mengerti proses penyakitnya dan Program prwtn serta Th/ yg diberikan dg:

-Ps mampu: Menjelaskan kembali tentang apa yang dijelaskan

-Pasien / keluarga kooperatif

Teaching : Dissease Process

-Kaji  tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit

-Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebabnya

-Sediakan informasi tentang kondisi klien

-Berikan informasi tentang perkembangan klien

-Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit

-Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan

-Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi

-Gambarkan komplikasi yang mungkin terjadi

-Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit

-Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada

-Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas kesehatan

6

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis, biologis ( mual, muntah ) Setelah dilakukan asuhan keperawatan …  jam klien menunjukan status nutrisi adekuat dengan KH:

-BB stabil

-tingkat energi adekuat

-masukan nutrisi adekuat

Manajemen Nutrisi

-Kaji adanya alergi makanan.

-Kaji makanan yang disukai oleh klien.

-Kolaborasi team gizi untuk penyediaan nutrisi TKTP

-Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisi TKTP dan banyak mengandung vitamin C

-Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.

-Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

-Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.

Monitor Nutrisi

-Monitor BB jika  memungkinkan

-Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.

-Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.

-Monitor adanya mual muntah.

-Kolaborasi untuk pemberian terapi sesuai order

-Monitor adanya gangguan dalam input makanan misalnya perdarahan, bengkak dsb.

-Monitor intake nutrisi dan kalori.

-Monitor kadar energi, kelemahan dan kelelahan.

7

Sindrom defisit self care b/d kelemahan, penyakitnya Setelah dilakukan askep … jam klien dan keluarga dapat merawat diri : activity daily living (adl) dengan kritria :

-Kebutuhan klien sehari-hari terpenuhi (makan, berpakaian, toileting, berhias, hygiene, oral higiene)

-Klien bersih dan tidak bau.

Bantuan perawatan diri

-Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri yang mandiri

-Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan, berhias

-Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri

-Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

-Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya

-Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin

-Dorong untuk melakukan secara mandiri tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.

-Berikan reinforcement positif atas usaha yang dilakukan.

Nilai Normal Laboratorium


Determination

Normal Reference Value

Conventional units

SI units

Blood, Plasma or Serum
Ammonia (NH3) – diffusion 20-120 mcg/dl 12-70 mcmol/L
Ammonia Nitrogen 15-45 µg/dl 11-32 µmol/L
Amylase 35-118 IU/L 0.58-1.97 mckat/L
Anion gap (Na+-[Cl + HCO3 ]) (P) 7-16 mEq/L 7-16 mmol/L
Antithrombin III (AT III) 80–120 U/dl 800–1200 U/L
Bicarbonate
Arterial 21–28 mEq/L 21–28 mmol/L
Venous 22–29 mEq/L 22–29 mmol/L
Bilirubin
Conjugated (direct) Total £ 0.2 mg/dl
&
0.1–1 mg/dl
£ 4 mcmol/L
&
2–18 mcmol/L
Calcitonin < 100 pg/ml < 100 ng/L
Calcium
Total 8.6–10.3 mg/dl 2.2–2.74 mmol/L
Ionized 4.4–5.1 mg/dl 1–1.3 mmol/L
Carbon dioxide content (plasma) 21–32 mmol/L 21–32 mmol/L
Carcinoembryonic antigen < 3 ng/ml < 3 mcg/L
Chloride 95–110 mEq/L 95–110 mmol/L
Coagulation screen
Bleeding time 3–9.5 min 180–570 sec
Prothrombin time 10–13 sec 10–13 sec
Partial thromboplastin time (activated) 22–37 sec 22–37 sec
Protein C 0.7–1.4 µ/ml 700–1400 U/ml
Protein S 0.7–1.4 µ/ml 700–1400 U/ml
Copper, total 70–160 mcg/dl 11–25 mcmol/L
Corticotropin (ACTH adrenocorticotropic hormone) – 0800 hr < 60 pg/ml < 13.2 pmol/L
Cortisol
0800 hr 5–30 mcg/dl 138–810 nmol/L
1800 hr 2–15 mcg/dl 50–410 nmol/L
2000 hr £ 50% of 0800 hr £ 50% of 0800 hr
Creatine kinase
Female 20–170 IU/L 0.33–2.83 mckat/L
Male 30–220 IU/L 0.5–3.67 mckat/L
Creatinine kinase isoenzymes, MB fraction 0–12 IU/L 0–0.2 mckat/L
Creatinine 0.5–1.7 mg/dl 44–150 mcmol/L
Fibrinogen (coagulation factor I) 150–360 mg/dl 1.5–3.6 g/L
Follicle-stimulating hormone (FSH)
Female 2–13 mlU/ml 2–13 IU/L
Midcycle 5–22 mlU/ml 5–22 IU/L
Male 1–8 mlU/ml 1–8 IU/L
Glucose, fasting 65–115 mg/dl 3.6–6.3 mmol/L
Glucose Tolerance Test (Oral)

(mg/dl)

(mmol/L)

Normal Diabetic Normal Diabetic
Fasting 70–105 > 140 3.9–5.8 > 7.8
60 min 120–170 ³ 200 6.7–9.4 ³ 11.1
90 min 100–140 ³ 200 5.6–7.8 ³ 11.1
120 min 70–120 ³ 140 3.9–6.7 ³ 7.8
(g) – Glutamyltransferase (GGT)
Male 9–50 units/L 9–50 units/L
Female 8–40 units/L 8–40 units/L
Haptoglobin 44–303 mg/dl 0.44–3.03 g/L
Hematologic Tests
Fibrinogen 200–400 mg/dl 2–4 g/L
Hematocrit (Hct)
female 36%-44.6% 0.36–0.446 fraction of 1
male 40.7%-50.3% 0.4–0.503 fraction of 1
Hemoglobin A 1C 5.3%-7.5% of total Hgb 0.053–0.075
Hemoglobin (Hb)
female 12.1–15.3 g/dl 121–153 g/L
male 13.8–17.5 g/dl 138–175 g/L
Leukocyte count (WBC) 3800–9800/mcl 3.8–9.8 x 109/L
Erythrocyte count (RBC)
female 3.5–5 x 106/mcl 3.5–5 x 1012/L
male 4.3–5.9 x 106/mcl 4.3–5.9 x 1012/L
Mean corpuscular volume (MCV) 80–97.6 mcm3 80–97.6 fl
Mean corpuscular hemoglobin (MCH) 27–33 pg/cell 1.66–2.09 fmol/cell
Mean corpuscular hemoglobin concentrate (MCHC) 33–36 g/dl 20.3–22 mmol/L
Erythrocyte sedimentation rate (sedrate, ESR) £30 mm/hr £30 mm/hr
Erythrocyte enzymes
Glucose-6 – Pphosphate dehydrognase (G-6-PD) 250–5000 units/106 cells 250–5000 mcunits/cell

Determination

Reference Value

(Conventional units) (SI units)
Blood, Plasma or Serum:

Ammonia (NH3) – diffusion

20–120 mcg/dl 12–70 mcmol/L
Ammonia Nitrogen 15–45 µg/dl 11–32 µmol/L
Amylase 35–118 IU/L 0.58–1.97 mckat/L
Anion gap (Na+-[Cl + HCO3]) (P) 7–16 mEq/L 7–16 mmol/L
Antithrombin III (AT III) 80–120 U/dl 800–1200 U/L
Bicarbonate: Arterial
Venous
21–28 mEq/L
22–29 mEq/L
21–28 mmol/L

22–29 mmol/L

Bilirubin: Conjugated (direct) Total £ 0.2 mg/dl
(0.1–1 mg/dl)
£ 4 mcmol/L
(2–18 mcmol/L)
Calcitonin < 100 pg/ml < 100 ng/L
Calcium: Total
Ionized
8.6–10.3 mg/dl

4.4–5.1 mg/dl

2.2–2.74 mmol/L

1–1.3 mmol/L

Carbon dioxide content (plasma) 21–32 mmol/L 21–32 mmol/L
Carcinoembryonic antigen < 3 ng/ml < 3 mcg/L
Chloride 95–110 mEq/L 95–110 mmol/L
Coagulation screen:

Bleeding time
Prothrombin time

Partial thromboplastin time (activated)

Protein C

Protein S

3–9.5 min

10–13 sec

22–37 sec

0.7–1.4 µ/ml

0.7–1.4 µ/ml

180–570 sec

10–13 sec

22–37 sec

700–1400 U/ml

700–1400 U/ml

Copper, total 70–160 mcg/dl 11–25 mcmol/L
Corticotropin
(ACTH adrenocorticotropic hormone) – 0800 hr
< 60 pg/ml < 13.2 pmol/L
Cortisol: 0800 hr
1800 hr
2000 hr
5–30 mcg/dl
2–15 mcg/dl

£ 50% of 0800 hr

138–810 nmol/L

50–410 nmol/L

£ 50% of 0800 hr

Creatine kinase: Female
Male
20–170 IU/L

30–220 IU/L

0.33–2.83 mckat/L
0.5–3.67 mckat/L
Creatinine kinase isoenzymes, MB fraction 0–12 IU/L 0–0.2 mckat/L
Creatinine 0.5–1.7 mg/dl 44–150 mcmol/L
Fibrinogen (coagulation factor I) 150–360 mg/dl 1.5–3.6 g/L
Follicle-stimulating hormone (FSH):

Female

Midcycle

Male

2–13 mlU/ml

5–22 mlU/ml
1–8 mlU/ml

2–13 IU/L

5–22 IU/L

1–8 IU/L

Glucose, fasting 65–115 mg/dl 3.6–6.3 mmol/L
Glucose Tolerance Test (Oral)

Fasting

60 min
90 min

120 min

(mg/dl)

Normal Diabetic
70–105 > 140
120–170 ³ 200
100–140 ³ 200
70–120 ³ 140

(mmol/L)

Normal Diabetic
3.9–5.8 > 7.8
6.7–9.4 ³ 11.1
5.6–7.8 ³ 11.1
3.9–6.7 ³ 7.8
(g) -Glutamyltransferase (GGT):

Male

Female

9–50 units/L
8–40 units/L
9–50 units/L

8–40 units/L

Haptoglobin 44–303 mg/dl 0.44–3.03 g/L

Determination

Reference Value

Conventional units SI units
Hematologic tests:

Fibrinogen

Hematocrit (Hct),
female

male

Hemoglobin A 1C

Hemoglobin (Hb),
female

male

Leukocyte count (WBC)
Erythrocyte count (RBC):
female

male

Mean corpuscular volume (MCV)

Mean corpuscular hemoglobin
(MCH)

Mean corpuscular hemoglobin

concentrate (MCHC)

Erythrocyte sedimentation rate

(sedrate, ESR)

200–400 mg/dl

36%-44.6%

40.7%-50.3%

5.3%-7.5% of total Hgb

12.1–15.3 g/dl

13.8–17.5 g/dl

3800–9800/mcl

3.5–5 x 106/mcl

4.3–5.9 x 106/mcl

80–97.6 mcm3

27–33 pg/cell

33–36 g/dl

£30 mm/hr

2–4 g/L

0.36–0.446 fraction of 1

0.4–0.503 fraction of 1

0.053–0.075

121–153 g/L

138–175 g/L

3.8–9.8 x 109/L

3.5–5 x 1012/L

4.3–5.9 x 1012/L

80–97.6 fl

1.66–2.09 fmol/cell

20.3–22 mmol/L

£ 30 mm/hr

Erythrocyte enzymes:

Glucose-6 –
Pphosphate dehydrognase

(G-6-PD)

Ferritin

Folic acid: normal

Platelet count

Reticulocytes

Vitamin B12

250–5000 units/106 cells

10–383 ng/ml

>3.1–12.4 ng/ml

150–450 x 103/mcl

0.5%-1.5% of erythrocytes

223–1132 pg/ml

250–5000 mcunits/cell

23–862 pmol/L

7–28.1 nmol/L

150–450 x 109/L

0.005–0.015

165–835 pmol/L

Iron: Female
Male
30–160 mcg/dl

45–160 mcg/dl

5.4–31.3 mcmol/L

8.1–31.3 mcmol/L

Iron binding capacity 220–420 mcg/dl 39.4–75.2 mcmol/L
Isocitrate dehydrogenase 1.2–7 units/L 1.2–7 units/L
Isoenzymes

Fraction 1

Fraction 2

Fraction 3

Fraction 4

Fraction 5

14%-26% of total

29%-39% of total

20%-26% of total

8%-16% of total

6%-16% of total

0.14–0.26 fraction of total

0.29–0.39 fraction of total
0.20–0.26 fraction of total

0.08–0.16 fraction of total

0.06–0.16 fraction of total

Lactate dehydrogenase 100–250 IU/L 1.67–4.17 mckat/L
Lactic acid (lactate) 6–19 mg/dl 0.7–2.1 mmol/L
Lead £ 50 mcg/dl £ 2.41 mcmol/L
Lipase 10–150 units/L 10–150 units/L
Lipids:

Total Cholesterol

Desirable

Borderline-high

High

LDL

Desirable

Borderline-high

High

HDL (low)

Triglycerides

Desirable

Borderline-high

High

Very high

< 200 mg/dl

200–239 mg/dl

> 239 mg/dl

< 130 mg/dl

130–159 mg/dl

> 159 mg/dl

< 35 mg/dl

< 200 mg/dl

200–400 mg/dl

400–1000 mg/dl

> 1000 mg/dl

< 5.2 mmol/L

< 5.2–6.2 mmol/L

> 6.2 mmol/L

< 3.36 mmol/L

3.36–4.11 mmol/L

> 4.11 mmol/L

< 0.91 mmol/L

< 2.26 mmol/L

2.26–4.52 mmol/L

4.52–11.3 mmol/L

> 11.3 mmol/L

Magnesium 1.3–2.2 mEq/L 0.65–1.1 mmol/L
Osmolality 280–300 mOsm/kg 280–300 mmol/kg
Oxygen saturation (arterial) 94%-100% 0.94 – fraction of 1
PCO2, arterial 35–45 mm Hg 4.7–6 kPa
pH, arterial 7.35–7.45 7.35–7.45

Determination

Reference Value

Conventional units

SI units

PO, arterial: Breathing room air

On 100% O

80–105 mm Hg

> 500 mm Hg

10.6–14 kPa
Phosphatase (acid), total at 37°C 0.13–0.63 IU/L 2.2–10.5 IU/L or

2.2–10.5 mckat/L

Phosphatase alkaline 20–130 IU/L 20–130 IU/L or

0.33–2.17 mckat/L

Phosphorus, inorganic, (phosphate) 2.5–5 mg/dl 0.8–1.6 mmol/L
Potassium 3.5–5 mEq/L 3.5–5 mmol/L
Progesterone

Female

Follicular phase

Luteal phase

Male

0.1–1.5 ng/ml

0.1–1.5 ng/ml
2.5–28 ng/ml

< 0.5 ng/ml

0.32–4.8 nmol/L

0.32–4.8 nmol/L

8–89 nmol/L

< 1.6 nmol/L

Prolactin 1.4–24.2 ng/ml 1.4–24.2 mcg/L
Prostate specific antigen

Protein: Total
Albumin

Globulin

0–4 ng/ml

6–8 g/dl

3.6–5 g/dl

2.3–3.5 g/dl

0–4 ng/ml
60–80 g/L

36–50 g/L

23–35 g/L

Rheumatoid factor < 60 IU/ml < 60 kIU/L
Sodium 135–147 mEq/L 135–147 mmol/L
Testosterone:
Female

Male

6–86 ng/dl

270–1070 ng/dl

0.21–3 nmol/L

9.3–37 nmol/L

Thyroid Hormone Function Tests:

Thyroid-stimulating hormone (TSH)

Thyroxine-binding globulin capacity

Total triiodothyronine (T3)

Total thyroxine by RIA (T4)
T3 resin uptake

0.35–6.2 mcU/ml

10–26 mcg/dl

75–220 ng/dl

4–11 mcg/dl
25%-38%

0.35–6.2 mU/L

100–260 mcg/L

1.2–3.4 nmol/L

51–142 nmol/L

0.25–0.38 fraction of 1

Transaminase, AST (aspartate aminotransferase, SGOT) 11–47 IU/L 0.18–0.78 mckat/L
Transaminase, ALT (alanine aminotransferase, SGPT) 7–53 IU/L 0.12–0.88 mckat/L
Transferrin 220–400 mg/dL 2.20–4.00 g/L
Urea nitrogen (BUN) 8–25 mg/dl 2.9–8.9 mmol/L
Uric acid 3–8 mg/dl 179–476 mcmol/L
Vitamin A (retinol) 15–60 mcg/dl 0.52–2.09 mcmol/L
Zinc 50–150 mcg/dl 7.7–23 mcmol/L

1 Tergantung pada usia

2 Bayi dan anak sampai 104 U/L

3 Bayi usia 1 tahun sampai 6 mg/dl

Urine

Determination

Reference Value

Conventional units SI units
Calcium 50–250 mcg/day 1.25–6.25 mmol/day
Catecholamines:

Epinephrine

Norepinephrine

< 20 mcg/day

< 100 mcg/day

< 109 nmol/day

< 590 nmol/day

Catecholamines, 24-hr < 110 µg < 650 nmol
Copper 15–60 mcg/day 0.24–0.95 mcmol/day
Creatinine:

Child

Adolescent

Female
Male

8–22 mg/kg

8–30 mg/kg

0.6–1.5 g/day

0.8–1.8 g/day

71–195 µmol/kg
71–265 µmol/kg

5.3–13.3 mmol/day

7.1–15.9 mmol/day

pH 4.5–8 4.5–8
Phosphate 0.9–1.3 g/day 29–42 mmol/day
Potassium 25–100 mEq/day 25–100 mmol/day
Protein

Total

At rest

1–14 mg/dL

50–80 mg/day

10–140 mg/L

50–80 mg/day

Protein, quantitative < 150 mg/day < 0.15 g/day
Sodium 100–250 mEq/day 100–250 mmol/day
Specific gravity, random 1.002–1.030 1.002–1.030
Uric acid, 24-hr 250–750 mg 1.48–4.43 mmol

1 Tergantung pada diet.

Drug Levels*

Drug Determination

Reference Value

Conventional units

SI units

Aminoglycosides Amikacin

(trough)

(peak)

1–8 mcg/ml

1.7–13.7 mcmol/L

20–30 mcg/ml
34–51 mcmol/L
Gentamicin

(trough)

(peak)

0.5–2 mcg/ml

6–10 mcg/ml

1–4.2 mcmol/L

12.5–20.9 mcmol/L

Kanamycin

(trough)

(peak)

5–10 mcg/ml
20–25 mcg/ml
nd

nd

Netilimicin

(trough)

(peak)

0.5–2 mcg/ml
6–10 mcg/ml
nd

nd

Streptomycin

(trough)

(peak)

< 5 mcg/ml
5–20 mcg/ml
nd

nd

Tobramycin

(trough)

(peak)

0.5–2 mcg/ml
5–20 mcg/ml
1.1–4.3 mcmol/L

12.8–21.8 mcmol/L

Drug Determination

Reference Value

Conventional units

SI units

Antiarrhythmics Amiodarone 0.5–2.5 mcg/ml 1.5–4 mcmol/L
Bretylium 0.5–1.5 mcg/ml nd
Digitoxin 9–25 mcg/L 11.8–32.8 nmol/L
Digoxin 0.8–2 ng/ml 0.9–2.5 nmol/L
Disopyramide 2–8 mcg/ml 6–18 mcmol/L
Flecainide 0.2–1 mcg/ml nd
Lidocaine 1.5–6 mcg/ml 4.5–21.5 mcmol/L
Mexiletine 0.5–2 mcg/ml nd
Procainamide 4–8 mcg/ml 17–34 mcmol/ml
Propranolol 50–200 ng/ml 190–770 nmol/L
Quinidine 2–6 mcg/ml 4.6–9.2 mcmol/L
Tocainide 4–10 mcg/ml nd
Verapamil 0.08–0.3 mcg/ml nd
Anticonvulsants Carbamazepine 4–12 mcg/ml 17–51 mcmol/L
Phenobarbital 10–40 mcg/ml 43–172 mcmol/L
Phenytoin 10–20 mcg/ml 40–80 mcmol/L
Primidone 4–12 mcg/ml 18–55 mcmol/L
Valproic Acid 40–100 mcg/ml 280–700 mcmol/L
Antidepressants Amitriptyline 110–250 ng/ml 500–900 nmol/L
Amoxapine 200–500 ng/ml nd
Bupropion 25–100 ng/ml nd
Clomipramine 80–100 ng/ml nd
Desipramine 115–300 ng/ml nd
Doxepin 110–250 ng/ml nd
Imipramine 225–350 ng/ml nd
Maprotiline 200–300 ng/ml nd
Nortriptyline 50–150 ng/ml nd
Protriptyline 70–250 ng/ml nd
Trazodone 800–1600 ng/ml nd
Antipsychotics Chlorpromazine 50–300 ng/ml 150–950 nmol/L
Fluphenazine 0.13–2.8 ng/ml nd
Haloperidol 5–20 ng/ml nd
Perphenazine 0.8–1.2 ng/ml nd
Thiothixene 2–57 ng/ml nd

Drug Determination

Reference Value

Conventional units

SI units

Miscellaneous Amantadine

Amrinone

300 ng/ml

3.7 mcg/ml

nd

nd

Chloramphenicol 10–20 mcg/ml 31–62 mcmol/L
Cyclosporine 250–800 ng/ml

(whole blood, RIA)
50–300 ng/ml (plasma, RIA)

nd

nd

Ethanol 0 mg/dl 0 mmol/L
Hydralazine 100 ng/ml nd
Lithium 0.6–1.2 mEq/L 0.6–1.2 mmol/L
Salicylate 100–300 mg/L 724–2172 mcmol/L
Sulfonamide 5–15 mg/dl nd
Terbutaline 0.5–4.1 ng/ml nd
Theophylline 10–20 mcg/ml 55–110 mcmol/L
Vancomycin

(trough)

(peak)

5–15 ng/ml
20–40 mcg/ml
nd

nd

* Nilai yang diberikan secara umum dapat digunakan untuk terapi tanpa terjadi efek toksik pada kebanyakan pasien, Namun pengecualian juga tidak jarang terjadi.

1 nd = data tidak tersedia.

2 Metabolit N-desmethyl beserta turunannya.

3 Nilai 24 jam.

4 Toksik: 50–100 mg/dl (10.9–21.7 mmol/L).

Diambil dari The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National Institutes of Health.

Classification of Blood Pressure *

Category

Reference value

Systolic (mm Hg)

Diastolic (mm Hg)

Optimal < 120 and < 80
Normal < 130 and < 85
High-normal 130–139 or 85–89
Hypertension

Stage 1

Stage 2

Stage 3

140–159
160–179

³ 180

or

or

or

90–99
100–109

³ 110

* Untuk dewasa berusia 18 atau lebih yang tidak dalam pengobatan anti hipertensi dan tidak dalam kondisi akut. Ketika tekanan sistole dan diastole masuk ke dalam kategori lain, maka kategori di atasnya harus dipilih untuk menentukan klasifikasi status tekanan darah penderita. Sebagai tambahan dalam menentukan stadium hipertensi, seorang praktisi medis harus menentukan ada atau tidaknya penyakit pada target organ serta faktor resiko lainnya.

1 Tekanan darah yang optimal terhadap resiko kardiovaskular adalah dibawah 120/88 m Hg. Namun demikian, nilai rendah yang tidak wajar harus dievaluasi untuk menemukan kelainan klinis yang signifikan.

2 Berdasarkan atas pembacaan sebanyak 2 kali atau lebih pada pemeriksaan awal.

Fisioterapi bukan Rehabilitasi Medis

FISIOTERAPI

Hippocrates dan Hector dipercaya sebagai praktisi pertama dari fisioterapi primitif, dengan menganjurkan massage dan hydrotherapy untuk menterapi berbagai macam gangguan, penyakit dan nyeri pada abad 5SM (460 SM) namun kini fisioterapi sudah jauh berkembang baik jenis terapi maupun gangguan yang ditangani dan tidak lagi sebagai terapi komplementer namun terapi ilmiah dengan metode alamiah (fisika) didukung bukti riset ilmiah.

Menurut Kepmenkes 1363/2001, fisioterapi adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan manusia dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi

Fisio(terapis) menggunakan banyak cara untuk menghilangkan nyeri, memperbaiki dan memaksimalkan gerakan dan fungsi untuk peningkatan kesehatan, pencegahan sakit dan pengobatan serta rehabilitasi dari seseorang pada segala usia

Jenis pelayanan fisioterapi dapat dilakukan pada beberapa kondisi, yaitu:

  • · Neuromuscular; Terapi pada individu yang memiliki gangguan atau penyakit neurologi, seperti Alzheimer’s disease, ALS, cedera kepala/ gegar otak, multiple sclerosis, Parkinson’s disease, spinal cord injury, dan stroke. Gejala umum dari gangguan neurologis ini meliputi paralysis/ kelumpuhan, gangguan pengelihatan, keseimbangan yang buruk, ketidakmampuan berpindah/ ambulasi dan kehilangan kemampuan fungsi gerak. Fisioterapis bekerja untuk memperbaiki berbagai masalah ketidakmampuan tersebut.
  • · Muskuloskeletal; Untuk mereka yang menderita cedera atau penyakit yang mempengaruhi otot, tulang, sendi dan jaringan lunak lain. Kasus yang ditangani meliputi: Myalgia, bursitis, rhemathoid arthritis, Osteoarthritis, Low back pain, post-operasi orthopedi, fraktur, cedera olahraga akut, nyeri leher & pinggang, hingga amputasi dan koreksi postur. Terapi yang digunakan biasanya dengan mobilisasi sendi, terapi latihan, hot/cold packs, dan stimulasi listrik(mis, cryotherapy, iontophoresis, electrotherapy)
  • · Jantung & Pernapasan; Tujuan utama dari terapi adalah meningkatkan endurance & kemampuan fungsional. Manual terapi banyak digunakan untuk membantu pembersihan sekresi paru pada cystic fibrosis sementara pada penderita jantung dilakukan terapi latihan untuk meningkatkan endurance. Gangguan post-coronary bypass surgery, chronic obstructive pulmonary disease dan pulmonary fibrosis paling sering ditangani
  • · Pediatri/ Kesehatan Anak;. Terapis mendiagnosis dan menangani bayi, anak dan remaja dengan bermacam gangguan/ penyakit bawaan, kongenital dan pertumbuhan. Treatment difokuskan pada perbaikan kemampuan motorik kasar dan halus, balance dan koordinasi, kekuatan juga kognitif& sensory process/integration. Umumnya yang ditangani anak dengan keterlambatan gerak, cerebral palsy, spina bifida, juga torticollis
  • · Integumentary (Treatmen kondisi yang meliputi kulit dan organ terkait); Kondisi umum yang ditangani adalah luka dan luka bakar. Fisioterapis membersihkan jaringan yang rusak dan mempercepat proses penyembuhan jaringan dengan exercise, edema control, splinting dan compression garments.
  • · Obstetri & Ginekologi; Adnexitis, Pre dan post partus exercise (Senam hamil & Nifas)
  • · Telinga Hidung Tenggorokan; Otitis, Sinusitis, Radang tenggorokan

ARITMIA (ASKEP)

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ARITMIA

  1. Definisi

Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada infark miokardium. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis (Doenges, 1999). Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan denyut dan konduksi (Hanafi, 1996).

  1. Etiologi

Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :

    1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena infeksi)

    2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.

    3. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat anti aritmia lainnya

    4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)

    5. Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama jantung

    6. Ganggguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.

    7. Gangguan metabolik (asidosis, alkalosis)

    8. Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme)

    9. Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung

    10. Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis sistem konduksi jantung)

  1. Pathofisiologi

Terlampir

Manifestasi klinis

      1. Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.

      2. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.

      3. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah

      4. Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.

      5. demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

Pemeriksaan Penunjang

    1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.

    2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.

    3. Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup

    4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.

    5. Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan disritmia.

    6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.

    7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.

    8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.

    9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.

    10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia.

Penatalaksanaan Medis

    1. Terapi medis

Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu :

      1. Anti aritmia Kelas 1 : sodium channel blocker

  • Kelas 1 A

Quinidine adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flutter.

Procainamide untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi dan aritmi yang menyertai anestesi.

Dysopiramide untuk SVT akut dan berulang

  • Kelas 1 B

Lignocain untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard, ventrikel takikardia.

Mexiletine untuk aritmia entrikel dan VT

  • Kelas 1 C

Flecainide untuk ventrikel ektopik dan takikardi

      1. Anti aritmia Kelas 2 (Beta adrenergik blokade)

Atenolol, Metoprolol, Propanolol : indikasi aritmi jantung, angina pektoris dan hipertensi

      1. Anti aritmia kelas 3 (Prolong repolarisation)

Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang

      1. Anti aritmia kelas 4 (calcium channel blocker)

Verapamil, indikasi supraventrikular aritmia

    1. Terapi mekanis

      1. Kardioversi : mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur elektif.

      2. Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat darurat.

      3. Defibrilator kardioverter implantabel : suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel.

      4. Terapi pacemaker : alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekuensi jantung.

Pengkajian

    1. Riwayat penyakit
  • Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi

  • Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung, hipertensi

  • Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi

  • Kondisi psikososial

    1. Pengkajian fisik
      1. Aktivitas : kelelahan umum

      2. Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung menurun berat.

      3. Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,marah, gelisah, menangis.

      4. Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit

      5. Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.

      6. Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah

      7. Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.

      8. Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

Diagnosa keperawatan dan Intervensi

Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan konduksi elektrikal, penurunan kontraktilitas miokardia.

Kriteria hasil :

      1. Mempertahankan/meningkatkan curah jantung adekuat yang dibuktikan oleh TD/nadi dalam rentang normal, haluaran urin adekuat, nadi teraba sama, status mental biasa

      2. Menunjukkan penurunan frekuensi/tak adanya disritmia

      3. Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan kerja miokardia.

Intervensi :

      1. Raba nadi (radial, femoral, dorsalis pedis) catat frekuensi, keteraturan, amplitudo dan simetris.

      2. Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, irama. Catat adanya denyut jantung ekstra, penurunan nadi.

      3. Pantau tanda vital dan kaji keadekuatan curah jantung/perfusi jaringan.

      4. Tentukan tipe disritmia dan catat irama : takikardi; bradikardi; disritmia atrial; disritmia ventrikel; blok jantung

      5. Berikan lingkungan tenang. Kaji alasan untuk membatasi aktivitas selama fase akut.

      6. Demonstrasikan/dorong penggunaan perilaku pengaturan stres misal relaksasi nafas dalam, bimbingan imajinasi

      7. Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas dan faktor penghilang/pemberat. Catat petunjuk nyeri non-verbal contoh wajah mengkerut, menangis, perubahan TD

      8. Siapkan/lakukan resusitasi jantung paru sesuai indikasi

      9. Kolaborasi :

      10. Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh elektrolit

      11. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi

      12. Berikan obat sesuai indikasi : kalium, antidisritmi

      13. Siapkan untuk bantu kardioversi elektif

      14. Bantu pemasangan/mempertahankan fungsi pacu jantung

      15. Masukkan/pertahankan masukan IV

      16. Siapkan untuk prosedur diagnostik invasif

      17. Siapkan untuk pemasangan otomatik kardioverter atau defibrilator

Kurang pengetahuan tentang penyebab atau kondisi pengobatan berhubungan dengan kurang informasi/salah pengertian kondisi medis/kebutuhan terapi.

Kriteria hasil :

      1. menyatakan pemahaman tentang kondisi, program pengobatan

      2. Menyatakan tindakan yang diperlukan dan kemungkinan efek samping obat

Intervensi :

      1. Kaji ulang fungsi jantung normal/konduksi elektrikal

      2. Jelakan/tekankan masalah aritmia khusus dan tindakan terapeutik pada pasien/keluarga

      3. Identifikasi efek merugikan/komplikasiaritmia khusus contoh kelemahan, perubahan mental, vertigo.

      4. Anjurkan/catat pendidikan tentang obat. Termasuk mengapa obat diperlukan; bagaimana dan kapan minum obat; apa yang dilakukan bila dosis terlupakan

      5. Dorong pengembangan latihan rutin, menghindari latihan berlebihan

      6. Kaji ulang kebutuhan diet contoh kalium dan kafein

      7. Memberikan informasi dalam bentuk tulisan bagi pasien untuk dibawa pulang

      8. Anjurkan psien melakukan pengukuran nadi dengan tepat

      9. Kaji ulang kewaspadaan keamanan, teknik mengevaluasi pacu jantung dan gejala yang memerlukan intervensi medis

      10. Kaji ulang prosedur untuk menghilangkan PAT contoh pijatan karotis/sinus, manuver Valsava bila perlu

DAFTAR PUSTAKA
  1. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994.

  2. Santoso Karo karo. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996

  3. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

  4. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999

  5. Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001

STRUKTUR ORGANISASI

KETUA : RUFLY MALINGKAS
WAKIL KETUA : ROMMY RAU
SEKRETARIS : FERNANDO LENTA
BENDAHARA : DIDIMUS BAWOLENG
WAKIL BENDAHARA : FADLY GAZALI

SEKSI-SEKSI
SIE PENALARAN ILMIAH : JIMMY KAMAGI (Koord)
LERRY SADIA
MOSES WANTANIA

SIE HUMAS : HENRA TAMPI (Koord)
MARIO OHY
MAXI SAMBERAUNG
YUDI POLI

SIE OLAHRAGA/SENI : MEYHART RORI (Koord)
AGUNG GEDE BAWA
HAROLD WATUNG

SIE PERLENGKAPAN /DOKUMENTASI :
ROMMY KAPANTOW ( Koord)
FENDLY PAAT
HAROLD PESIK
BILLY RUMENGAN

TRIGEMINAL NEUROGIA

PENDAHULUAN

Definisi

Neuralgia trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf trigeminal. Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.

Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik.

Epidemiologi

Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2 pada wanita per satu juta populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2), dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa (dekade enam sampai tujuh). Hanya 10 % kasus yang terjadi sebelum usia empat puluh tahun.

Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada mereka yang berusia di atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-anak.

Neuralgia trigeminal merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat mengganggu kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya pemberian obat untuk mengatasi trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak mengetahui dan menyalahartikan neuralgia trigeminal sebagai nyeri yang ditimbulkan karena kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah tuntas

Klasifikasi

Neuralgia Trigeminal (NT) dapat dibedakan menjadi:
1. NT Tipikal
2. NT Atipikal
3. NT karena Sklerosis Multipel
4. NT Sekunder
5. NT Paska Trauma
6. Failed Neuralgia Trigeminal
Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta kelainan lain yang menyebabkan nyeri kranio-fasial.

Etiologi

Mekanisme patofisiologis yang mendasari NT belum begitu pasti, walau sudah sangat banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme harus konsisten dengan:

  1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.
  2. Umumnya ada stimulus ‘trigger‘ yang dibawa melalui aferen berdiameter besar (bukan serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.
  3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian atau akar saraf sering menghilangkan nyeri.
  4. Terjadinya NT pada pasien yang mempunyai kelainan demielinasi sentral.

Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding saraf tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat dikontrol dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu cetusan ‘aberrant‘ dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf kelima, berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima.

Patogenesis

Neuralgia trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral.

Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential pada saraf trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.

 

Gambaran Klinis

Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik. Penderita neuralgia trigeminal yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya. Serangan ini hilang timbul dan bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang minggu kemudian, tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Neuralgia trigeminal biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dlm waktu bersamaan.

 

Diagnosis

Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan tes neurologis (misalnya CT scan) tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya ‘serangan’ nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger zone)

Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut. Yang unik dari trigger zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau tekanan pada kulit atau rambut di daerah tersebut. Rangsang dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan panas, walaupun menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat memancing terjadinya serangan neuralgi. Pemeriksaan neurologis pada neuralgia trigeminal hampir selalu normal.

Suatu varian neuralgia trigeminal yang dinamakan tic convulsive ditandai dengan kontraksi sesisi dari otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu dibedakan dengan gerak otot muka yang bisa menyertai neuralgi biasa, yang dinamakan tic douloureux. Tic convulsive yang disertai nyeri hebat lebih sering dijumpai di daerah sekitar mata dan lebih sering dijumpai pada wanita.

Tatalaksana

Sebagian besar obat yang digunakan pada penyakit ini mempunyai cukup banyak efek samping. Penyakit ini juga terutama menyerang mereka yang sudah lanjut usia. Karena itu, pemilihan dan pemakaian obat harus memperhatikan secara cermat kemungkinan timbulnya efek samping. Dasar penggunaan obat pada terapi neuralgia trigeminal dan neuralgia saraf lain adalah kemampuan obat untuk menghentikan hantaran impuls aferen yang menimbulkan serangan nyeri.

Carbamazepine
Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan pertama adalah carbamazepine. Bila efektif maka obat ini sudah mulai tampak hasilnya setelah 4 hingga 24 jam pemberian, kadang-kadang bahkan secara cukup dramatis. Dosis awal adalah 3 x 100 hingga 200 mg. Bila toleransi pasien terhadap obat ini baik, terapi dilanjutkan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis hendaknya disesuaikan dengan respons pengurangan nyeri yang dapat dirasakan oleh pasien. Dosis maksimal adalah 1200 mg/hari. Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka dosis dan lama pengobatan bisa disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan pemantauan dari efek sampingnya negatif, maka obat ini sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6 bulan sebelum dicoba untuk dikurangi. Bila nyeri menetap maka sebaiknya diperiksa kadar obat dalam darah. Bila ternyata kadar sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa dipertimbangkan untuk menambahkan obat lain, misalnya baclofen. Dosis awal baclofen 10 mg/hari yang bertahap bisa dinaikkan hingga 60 hingga 80 mg/hari.

Gabapentin
Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji coba sebagai obat yang dapat dipertimbangkan untuk nyeri neuropatik. Obat ini mulai dipakai di Amerika pada 1994, sebagai obat anti epilepsi. Waldeman menganjurkan pemberian obat ini bila carbamazepin dan phenitoin gagal mengendalikan nyerinya. Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak terjadi efek samping yang mengganggu seperti pusing, ngantuk, gatal, dan bingung, obat dinaikkan dosisnya setiap 2 hari dengan 300 mg hingga nyeri hilang atau hingga tercapai dosis 1800 mg/hari. Cara kerja gabapentin dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas benar. Yang pasti dapat dikemukakan adalah bahwa obat ini meningkatkan sintesis GABA dan menghambat degradasi GABA. Karena itu, pemberian gabapentin akan meningkatkan kadar GABA di dalam otak.

 

BAB III

LAPORAN KASUS

 

IDENTITAS

Nama                           :     Ny. M.S

Umur                           :     64 tahun

Jenis kelamin               :     Perempuan

Alamat                        :     Pineleng Manado

Agama                         :     Hindu

Pekerjaan                     :     Ibu Rumah Tangga

Suku                            :     Bali

Tanggal MRS              :     18 Juli 2009

Tanggal pemeriksaan  :      19 Juli 2009

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri hebat pada wajah.

Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri hebat pada wajah dialami penderita 1 hari yang lalu, terjadi secara tiba-tiba. Nyeri dirasakan penderita seperti tersengat listrik terutama di daerah pipi kiri. Nyeri bersifat konstan dan berlangsung beberapa detik. Nyeri dirasakan berkurang apabila penderita berbaring. Nyeri bertambah hebat jika ditekan didaerah pipi.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi terkontrol sejak 15 tahun yang lalu

Riwayat Kebiasaan

Penderita lebih dominan menggunakan tangan kanan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, kebiasan merokok dan minum minuman beralkohol tidak pernah. 

 

 

 

 

 

 

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum :     Cukup

Kesadaran          :     Compos mentis

Tanda vital         :     Tensi             :  160/100 mmHg

Nadi             :  80 x/menit

Respirasi       :  24 x/menit

Suhu badan  :  36,7 oC

Kepala                :     Bentuk         :  Mesocephal

Mata             : Pupil bulat isokor, diameter ± 2-3 mm, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-

Hidung         :  Septum deviasi (-), sekret (-)

Mulut           :  Bibir sianosis (-), deviasi lidah, uvula (-)

Telinga         : Sekret (-)

Leher                  :     Trakea letak di tengah, pembesaran KGB (-)

Thorax                :     Paru-paru      :  Inspeksi     :  Simetris kiri = kanan

Palpasi       :  Stem fremitus kiri = kanan

Perkusi      :  Sonor kiri = kanan

Auskultasi :  Suara pernapasan vesikuler

Ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung         : Inspeksi     :  Iktus kordis tidak tampak

Palpasi       :  Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi      :  batas jantung dalam batas normal

Auskultasi :  SI-SII normal, bising (-)

Abdomen           :     Inspeksi        :  Datar

Palpasi          :  Lemas, hepar/lien :  tidak teraba

Perkusi         :  Timpani

Auskultasi    :  Bising usus (+) normal

Extremitas          :     Akral hangat, edema (-)

Status Neurologis

Kesadaran (GCS)                       :  E4 V5 M6

Tanda Rangsangan Meningeal   :  Kaku kuduk (-), TRM (-). Laseq (-), Kerniq (-)

Pemeriksaan N. Kranialis           :  kesan parese N. V sinistra

Status Motorik                           :

Status

Ekstremitas Superior

Ekstremitas Inferior

Dextra

Sinistra

Dextra

Sinistra

Gerakan

Normal

Normal

Normal

Normal

Kekuatan otot

5/5/5/5

5/5/5/5

5/5/5/5

5/5/5/5

Tonus otot

Normal

Normal

Normal

Normal

 

Status sensoris: sensibilitas kiri = sensibilitas kanan

Status otonom : BAB, BAK normal

LABORATORIUM

Eritosit      : 5,5 x 106 mm3

Leukosit    : 12.700

Trombosit : 275.000

Hb             : 14,9 mg/dl

PCV          : 46,8 %

 

Tatalaksana

Carbamazepine 3 x 200 mg (tab)

Ranitidine 2 x 150 mg (tab)

Captopril 3 x 25 mg (tab)

Ceftriaksone 2 x 1g (vial)

Bellarphen 3 x 1 tab

RESUME

Seorang penderita perempuan, umur 52 tahun, pekerjaan karyawan swasta, dikonsulkan ke Bagian Rehabilitasi Medik RSU Prof. Kandou dengan keluhan utama kelumpuhan anggota gerak kiri sejak ± 13 hari yang lalu.  Kelumpuhan terjadi secara perlahan-lahan saat penderita bangun dari tidur dan menghebat saat penderita berjalan.  Rasa keram-keram pada ekstremitas kiri (+).  Rasa mual dan muntah (-), kejang-kejang (-), penurunan kesadaran (-), bicara pelo (-), kesedakan waktu makan/minum (-).  BAB/BAK : biasa.

Riwayat penyakit dahulu : stroke (+) 3 tahun lalu, darah tinggi (+) 11 tahun lalu tidak terkontrol, kencing manis (+) 5 tahun lalu tidak terkontrol, asam urat (+) 2 tahun yang lalu.

Pemeriksaan fisik :

GCS : E4 V­5 M6

                T  :  170/110,  N  :  80 x/mnt,  R  :  24 x/mnt,  Sb  :  36,7 oC

Pupil bulat isokor, RC +/+, diameter ± 2-3 mm, TRM (-)

Indeks Barthel  :         80 (ketergantungan sedang)

N. kranialis      : Kesan N I-XII dalam batas normal

Sensorik           :    n   ↓

n   ↓

Motorik            :  KO : 5/5/5  5/5/5      TO :  n   n        RF :  n   n        RP  :  (-)

5/5/5  5/5/5                n   n                n   n

Laboratorium  :

Gula darah puasa :  180      mg/dL                      Ureum          :  48  mg/dL

Total kolesterol     :  187      mg/dL                      Kreatinin      :  1,0 mg/dL

Trigliserida            :  160      mg/dL                      SGPT           :  14  U/L

Asam urat              :  5,6       mg/dL                      SGOT           :  16  U/L

DIAGNOSIS

  • § Diagnosis klinis        :  Hemiparesa sinistra e causa post stroke non hemoragik reattack II
  • § Diagnosis topis         :  Subkortikal
  • § Diagnosis etiologis   :  Suspek trombosis

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Harrisons. Principle of Internal Medicine 17th Edition. Publisher McGraw-Hill. Philadelphia. 2008
  2. Goetz. Textbook of Clinical Neurology 3rd Edition. Publisher Elsevier-Saundres. 2007
  3. Simon R. Clinical Neurology 7th Edition. Publisher McGraw-Hill. Philadelphia. 2009